Tapi bukankah dogma selalu berada di atas rasionalitas? Kita menjadi ambigu, suatu waktu epistemik di lain waktu dogmatik. Karena iman dan sains lebih selalu memunggungi. Saintis Barat kerap menuding argumentasi ilmiah yang disodorkan agama sebagai pseudo sign. Kita tak peduli, kita telah gugup sejak pertama dalam upaya penyelamatan egois terhadap siksa neraka dan imaji bidadari surga. Melampaui kecintaan kepada Tuhan.
Seperti pikiran primitif kita yang percaya langit selalu di atas, demikian pula kita menilai Tuhan. Tuhan di mata kita adalah Tuhan parsial, Tuhan sektarian, bahkan Tuhan partisan. Bagi kita, Tuhan dengan daya mahakuasa (omnipotent) dan maha cerdas (omniscient) telah menciptakan seluruh umat manusia, lalu bergabung kepada sekolompok kecil saja, yang terus kita bagi menjadi racikan terkecil calon penghuni surga. Agama kita  lalu dipenuhi kontestasi, selebrasi dan alienasi.
Dalam upaya merengkuh surgaNya, kita memenuhi teori gen egois Richard Dawkins, bahwa telah berlangsungnya seleksi dan kompetensi antargen untuk tetap eksis dan meneruskan (ke dimensi akhirat).
Suatu waktu kita merasa paling humanis, tapi tak pernah peduli dengan anak Adam lainnya di pulau Tasmania, atau Aztec, Inca dan Maya di belantara Amazon atau apapun yang terisolasi. Kita "masuk" surga, sedang mereka dipanggang di neraka, karena tak sampai ayat- ayat langit kepada mereka.
Mereka sejak Adam, telah jauh terisolasi ribuan kilometer dari kronologi kenabian yang hanya berpusat di lokus-lokus bangsa Semit. Sepanjang ada, mereka diasuh agama-agama antropologis. Lalu dengan egois kita bergumam, siapa suruh mereka terlahir dari rahim penyembah api, pohon, batu, atau matahari? Â Dengan logika iman kita akan berpikir, iblis telah melakukan pekerjaan sia-sia untuk umat ini, tanpa digoda pun sudah pasti masuk neraka. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H