Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Sastra versus Filsafat dan Pulitzer untuk Ernest Hemingway

30 November 2020   10:10 Diperbarui: 1 Desember 2020   20:52 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sastra dan filsafat adalah dua hal yang memunggungi. Dua bidang yang silang sengketa. Keduanya mengalami kawin paksa sejak Plato. Plato ingin mengusir Homer dari kota idealnya, karena sastra Homer bicara dusta tentang dewa dewi Olympus yang kadang liar dan menjahati manusia. Filsafat yang dingin dan rasional tentu saja membungkam Homer. Plato hanya ingin Homer pergi, tapi tidak sastranya.

Homer adalah sastrawan kuno paling sohor, darinya kita banyak tahu tentang mitologi Yunani. Sedangkan Plato adalah filsuf angkatan pertama yang menulis. Ia menulis Politeia tidak dengan kaku cara filsafat, tapi menghimpunnya di dalam diksi sastra, dalam dialog - dialog imajiner.

Agar metafora terbangun, sastra harus di depan. Sastra yang liar dan elok rupa tak henti bergelinjang di atas podium kata, tapi tanpa filsafat ia bisa nirmakna. 

Sastra mampu meruntuhkan bangunan pikiran yang menindas, tapi tanpa filsafat, ia akan abadi sebagai reruntuhan. Meminjam Martin Suryajaya, sastra menjebol, filsafat membangun. 

Selain Aristoteles yang menyusun ensiklopedia, hampir semua filsuf dunia bertutur cara sastra. Aristoteles dibangkitkan di jazirah Arab. Pun demikian, oleh filsuf Islam Averroes, Al Farabi atau Al Kindi misalnya, ia dielaborasi kembali secara sastrawi.

Mereka yang beraliran filsafat Peripatetik (masysya'iyyah) membuat sintesa antara ajaran-ajaran Islam dengan Aristotelianisme dan Platonisme, mencakup  Alexandrian maupun Athenian, juga ajaran-ajaran Plotinus dengan perpaduan wahyu Islam. Induk semang dari peripatetik adalah Aristoteles yang rigid.

Utopia yang ditulis Sir Thomas More terbit pada 1516 adalah karya filosofis yang dibangun secara sastra fiksi dan satire sosio-politik. Berbagai aliran filsafat mulai neoplatonisme hingga eksistensialisme seperti novel Sartre jamak memakai sastra sebagai medium penyampai.

Bukan pula sastra yang bergantung kepada filsafat. Sastra bisa pergi sendiri secara dirinya. Tanpa menggendong filsafat, sastra tetaplah sastra. Sastra juga bisa menjadi kenderaan makna bagi dogma. Atau wahyu memang perlu disampaikan dengan cara indah. Kitab suci seperti Al Quran datang sebagai kesempurnaan sastra yang dikagumi. 

Ada 4.200 agama di dunia, mereka menyusun kidung dan bait puja puji kepada tuhan, juga mantra-mantra dan aji - ajian sastrawi kepada dewa. Mereka meminjam sastra, bukan sastra itu sendiri, kecuali kita ingin menyandingkan dogma dengan fiksi.

Filsafat yang bersembunyi di dalam kabin akal, adalah ia yang kaku beku dan tak terusik. Filsafat menghimpun nilai-nilai universal yang paling ideal, dan membebaskan diri dari kotak-kotak sempit fanatisme. Berpusat kepada logika dan teraju kebenaran yang terverifikasi.

Maka seorang filsuf yang baik menjadi fardhu memakai sastra agar nilai-nilai filosofisnya tersampaikan. Ini akan menjadi suatu paradoks yang kekal, sebab sastra bersifat irasional sementara filsafat sangat rasional. Sastra panas dan filsafat dingin. Tapi keduanya bisa membahu, ketika sastra berhasil meruntuhkan, filsafat datang membangun kebaruan.

Karya sastra yang ingin luas dan filosofis akan membawa serta filsafat baginya. Kita mengenal Sutan Takdir Alisjahbana, dengan karya-karya sastranya yang berfilsafat.

Alegori Gua dari Plato dan alegori Orang Gila karya Nietzsche misalnya bisa saja dinikmati secara penikmat sastra tulen tanpa perlu berkernyit untuk menghitung makna filosofis yang ada di dalamnya. 

Di sini kadang-kadang filsuf kemudian menjadi ragu untuk bersastra, karena ditakutkan ia hanya diingat sebagai fiksi atau sebatas himpunan aneka diksi.

Lalu bagaimana duduk perkara untuk pelaku sastra dan filosof? Sebab sastra dan filsafat di dalam pertemuannya akan menjumpai titik kritis, keduanya akan saling melemahkan.

Filosof harus membangun penekanan-penekanan filsafat ketika memasuki belokan tajam sastrawi. Demikian pula para sastrawan, harus tidak biasa-biasa saja bersastra dengan tunggal tanpa mengajak filsafat menjadi kawan bergelut.

Kita bisa meniru cara cerdik Ernest Hemingway yang dalam perwatakan karya-karyanya mengajak serta filsafat stoicisme dan determinisme. Apapun bantahannya, Hemingway telah memperoleh Hadiah Pulitzer pada 1953 untuk The Old Man and the Sea. ~MNT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun