Maka seorang filsuf yang baik menjadi fardhu memakai sastra agar nilai-nilai filosofisnya tersampaikan. Ini akan menjadi suatu paradoks yang kekal, sebab sastra bersifat irasional sementara filsafat sangat rasional. Sastra panas dan filsafat dingin. Tapi keduanya bisa membahu, ketika sastra berhasil meruntuhkan, filsafat datang membangun kebaruan.
Karya sastra yang ingin luas dan filosofis akan membawa serta filsafat baginya. Kita mengenal Sutan Takdir Alisjahbana, dengan karya-karya sastranya yang berfilsafat.
Alegori Gua dari Plato dan alegori Orang Gila karya Nietzsche misalnya bisa saja dinikmati secara penikmat sastra tulen tanpa perlu berkernyit untuk menghitung makna filosofis yang ada di dalamnya.Â
Di sini kadang-kadang filsuf kemudian menjadi ragu untuk bersastra, karena ditakutkan ia hanya diingat sebagai fiksi atau sebatas himpunan aneka diksi.
Lalu bagaimana duduk perkara untuk pelaku sastra dan filosof? Sebab sastra dan filsafat di dalam pertemuannya akan menjumpai titik kritis, keduanya akan saling melemahkan.
Filosof harus membangun penekanan-penekanan filsafat ketika memasuki belokan tajam sastrawi. Demikian pula para sastrawan, harus tidak biasa-biasa saja bersastra dengan tunggal tanpa mengajak filsafat menjadi kawan bergelut.
Kita bisa meniru cara cerdik Ernest Hemingway yang dalam perwatakan karya-karyanya mengajak serta filsafat stoicisme dan determinisme. Apapun bantahannya, Hemingway telah memperoleh Hadiah Pulitzer pada 1953 untuk The Old Man and the Sea. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H