Kehilangan rasa humor tidak lebih horor ketimbang gagal tertawa. Gagal ketawa itu fatal. Secara teknis tidak ada kerja sama antara otak dan otot wajah. Tertawalah untuk humor terbaikmu, suntikkan endorfin bila perlu, karena ada yang bilang, tidak ada humor di surga.
Artinya humor hanyalah trik untuk menutupi kepedihan dunia. Tragedi adalah pemenang dan kita adalah para juri yang memenangkannya. Tawa juga tentang subyektifitas dan kualitas otak. Film - film Hollywood menyelipkan dialog pendek dengan humor standar tinggi di antara ledakan dan runtuhan, bahkan di depan kursi listrik.
Di kita, humor acap kali muncul melalui visualisasi dan body shaming - yang mestinya terlarang dan bermutu rendah. Charlie Chaplin dan Mr Bean mengandalkan visualisasi, tapi bukan itu yang saya maksud.
Diambil dari Fimela, peneliti dari Austria dalam jurnal Personality and Individual Differences menemukan bahwa orang-orang yang lucu, terutama mereka yang menyukai dark humor atau guyonan yang agak sarkas dan pedas, biasanya memiliki IQ yang lebih tinggi daripada orang yang pemurung dan memilih cara lain untuk tertawa atau tidak.
Filosof kadang memakai puisi jenaka, lebih mirip pantun untuk menempatkan argumentasinya. Seperti J.L. Austin kala menyerang teori persepsi lewat Sense and Sensibilia, itu mirip sebuah permainan kata yang menghibur.
Humor adalah tentang cara melihat komedi di jalur tragedi. Tragedi adalah pita lebar absolut yang terus terbentang, sedangkan komedi adalah cara untuk menyintas. Tertawa adalah pertahanan sedangkan menertawai adalah senjata,__dapat dibedakan dengan menertawai seseorang yang terpeleset.
Kata Sartre, badut dan komedian adalah seorang yang berkhianat pada diri sendiri, karena menempatkan dirinya sebagai sosok menggelikan. Manusia yang tak tahu cara menertawai diri sendiri, akan menaruh badut di luar dirinya di tempat yang jauh.
Orang-orang yang gagal tertawa membutuhkan badut lebih banyak dari yang lainnya. Di abad pertengahan, sekelompok orang di Eropa membeli Nitrous Oksida, suatu gas anestesia yang mampu membuat mereka terpingkal tanpa sebab.
Humor ternyata dekat dengan filsafat, bila ditilik penempatannya pada sisi kritis dan imajinatif. Satu mazhab filsafat yang rajin merawat kelucuan adalah eksistensialisme.
Tema-tema serupa konflik individu dan lian merupakan keterberian, akhirnya mewujud dalam konstruksi humor dan tragedi. Secara umum, eksistensialisme menekankan segi problematis kehidupan ini.
Sebut Mark Twain, sumber tersembunyi dari humor bukanlah kesenangan, namun kepedihan. Tiada humor di dalam surga. Kita juga ingat kata pemikir kontemporer Nietzsche, manusia adalah satu-satunya hewan yang bisa tertawa karena ia menderita kesendirian yang sangat dalam.
Seperti kita tahu, tema besar yang dibawa eksistensialisme dan komedi yakni absurditas: sebuah pengalaman hidup umat manusia, keseluruhan kondisi kemanusiaan.
Meramu formula Henri Bergson dalam Laughter: Apa yang kita tertawakan pada kekakuan mekanistik sebenarnya adalah harapan untuk menemukan kehidupan yang luwes dalam diri manusia, saya akan menarik gagasan humor sebagai sifat syukur dan ikhlas.
Jangan bantah kalau dunia tempatnya tragedi nan fana. Tempat ujian kesakitan, namun kita mampu menemukan sepercik surga dari komedi. Komedi bukan semata mengaktifkan sirkuit-sirkuit kesenangan pada otak, tapi adalah refleksi dari rasa syukur dan penerimaan pada tragedi.Â
Sedangkan kejenakaan yang sarkas, adalah untuk merawat dunia menjadi lebih baik, paling tidak, tidak lebih horor dari sebelumnya. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H