Lepas dari rantai sejarahnya yang panjang, bahasa Inggris modern pertama sekali dipopulerkan oleh William Shakespeare dan penulis ternama Abad Pertengahan seperti Geoffrey Chaucer, dengan karyanya yang terkenal The Canterbury Tales.
Tapi mereka tidak cukup kuat untuk mencampuri perkembangan alami sebuah bahasa. Karya-karya mereka sangat terbatas dan hanya dibaca sangat sedikit manusia yang punya kemampuan literasi.
Demikian pula Hamzah Fansuri, seorang penyair sufistik abad 16 dari Barus, Sumatera Utara (sebelumnya di bawah Aceh Darussalam) atau Nuruddin ar-Raniri. Kita bisa memulai sebuah pertanyaan logis, siapa pembaca karya sastra ketika itu, atau lebih tepatnya siapa yang bisa membaca? Apakah ia ada di setiap perahu yang berlayar? atau di setiap pelana kuda para kelana?
Lingua Franca bekerja secara pragmatis yang mengedepankan efektivitas untuk mengoneksi antar orang dengan cepat dan melibatkan banyak suku bangsa sebagai pengguna. Mengamati syair-syair Hamzah Fansuri, beliau menggunakan bahasa-bahasa Melayu tinggi seperti Kepulauan Riau dan Semenanjung.
Saya belum tahu apakah jenis bahasa ini juga dulunya digunakan di Aceh Darussalam atau Barus, dan apakah masih sama? Atau adakah teks asli dalam bahasa Melayu yang berbeda? Bila tidak, berarti Hamzah Fansuri ketika itu sedang menggunakan Lingua Franca. Hamzah Fansuri bukanlah antitesis, tapi justru bagian dari tesis.
Saya ingin menyingkat, bukan Hamzah Fansuri atau William Shakespeare yang menciptakan Lingua Franca, tapi adalah mobilitas dan intermediasi antar ribuan manusia secara alami. Seperti bahasa Inggris melewati dua fase penting yakni kolonialisasi imperium Britania Raya ke separuh dunia dan Amerika Serikat sebagai ibukota dunia.
Demikian pula Melaka, ribuan manusia dari ras Asia sudah bertumpuk-tumpuk di sini sejak abad 15, serta memiliki hubungan diplomatik yang sangat erat dengan Imperium Usmani di Konstatinopel (Turki).
"Semua kontak dagang antara bangsa dan segala urusan perniagaan harus dilakukan di kota Malaka. Siapapun yang mengusai kota Malaka pasti bisa mengalahkan kehebatan Venesia,"__sebut seorang Duta Besar Portugal bernama Tome Pires pada 1515 dalam karya besarnya berjudul Suma Oriental.Â
Bahasa Melayu memenuhi sebagian Nusantara juga didorong peran kolonial Belanda yang menganjurkan bahasa Melayu dialek Riau sebagai bahasa pengantar di ruang akademis, forum-forum dan sekolah-sekolah.
Saya hanya ingin berpendapat bahwa bukti-bukti empiris sejarah kebahasaan Melayu seperti syair-syair sufistik Hamzah Fansuri (kubu Barus) hingga ke Kitab Pengetahuan Bahasa Raja Ali Haji (kubu Riau__ Selat Melaka) hanyalah fragmen dari sebentang panjang sejarah bahasa Melayu menuju Bahasa Indonesia.
Kita membutuhkan penalaran logis, agar sejarah itu tidak tertolak sebagai sains. Lagipula mengapa ini diributkan, di atas bahasa masih ada metabahasa. Bahasa inti universal antar manusia bumi. ~MNT