Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Republik Para Pendongeng

5 Oktober 2019   14:08 Diperbarui: 26 Oktober 2019   17:53 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain diliputi dengan pepohonan, sungai, api, takut dan libido, dunia manusia juga berisi tentang uang, tuhan, demokrasi dan merek. Manusia juga membentuk kegelisahan dan kerinduannya sendiri berdasarkan sejarah yang sekeping-sekeping.

Manusia memaklumkan kepada planet ini bahwa mereka telah membuat sejarah, tapi sejarah itu sesungguhnya berkisar antara jaringan cerita-cerita untuk tidak disebut dongeng. The Fed telah mengarang dongeng sebelum tidur bahwa Dolar setara emas. Maka kita cemas lalu memuja dolar seperti tuhan matahari dan pohon yang disembah moyang kita dari dongeng 'The Fed' purba.

Selamat! Kita telah berhasil melompati zaman batu Megalit untuk mendarat di zaman digital silikon, tapi kita adalah Sapiens yang sama: butuh kesamaan persepsi dalam mitos. Bahkan kita jauh tenggelam ke dalam dongeng itu, lebih tenggelam lagi dari sebelumnya.

Sebagai misal, kita memercayai uang kertas seharga beberapa sen ongkos cetaknya untuk ditukar apa saja, ketika tetua kita dulu menukar cangkang kerang dengan padi-padian dalam nilai yang setara. Yang membaca hanya setengah keping sejarah uang akan menyebutnya sebatas alat tukar.

Dongeng The Fed pernah mengempaskan Jerman, Zimbabwe, Argentina bahkan Indonesia. Jerman atau Zimbabwe pernah membeli sepotong roti dengan dua peti uang. Karena dongeng akan tetap dongeng: satu USD akhirnya sama dengan 35.000 triliun Dolar Zimbabwe.

Usai menyembah kekuatan magis pada pohon besar tua dan suara-suara yang keluar dari dalam gua, kita yang kekinian terpesona pada Microsoft, Apple, Ferrari dan sepatu Nike. Melompati nilai intrinsik pada dirinya, semua merek tersebut berhasil menciptakan mitos, lalu bertemu dengan mitos uang: maka kita semakin berada dalam dunia dongeng.

Tak salah bila Plato dalam Myth of The Cave menyebut bahwa dunia realitas kita hanyalah bayangan dalam gua sementara agama menyebutnya sebagai senda gurau. Manusia bersenda dalam banyak hal dengan cara memahami hal setengah - setengah, ketika yang lainnya menebar dongeng tentang sebuah republik.

Amanat demokrasi dan perintah dari telunjuk Kaisar Hammurabi, masih tercampur di laboratorium Thomas Alva Edison dalam percobaan yang ke 217. Ketika ia butuh hampir 1.000 percobaan untuk melahirkan lampu pijar.

Para birokrat ribuan tahun dahulu mencatat pajak dalam gulungan papyrus untuk tiap desa dan melaporkannya ke Memphis, tempat Fir'aun bertahta. Sekarang akan sama saja, bahkan lebih dongeng lagi dan terus beragam. Bila Fir'aun berhasil mentransfer pajak menjadi Piramida, Sphinx dan balsem kematian maka pajak kita laksana dongeng sepatu Cinderella yang tercecer.

Google yang sama saktinya dengan bola kristal zaman Aladin, tak mampu mendeteksi kemana uang pajak kita yang sebenarnya pergi, lalu ilmu matematika dari zaman Babilonia sampai Silicon Valley langsung pura-pura mati bila disuruh membongkar brangkas republik ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun