Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kehilangan Ide di Antara 60 Ribu Kata

4 Agustus 2019   17:43 Diperbarui: 4 Agustus 2019   20:31 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai detik ini aku belum punya ide. Aku tidak tahu harus menulis apa. Anda punya ide? Halah, kok malah bertanya ke permisa (tanpa TV). Daripada meringkuk di ruang hampa, lebih baik lakukan saja. Lakukan!.

Ternyata tidak buruk, tetiba aku dapat ide tapi hanya untuk judulnya saja. Selanjutnya biarkan semesta bicara. Apakah Anda sepakat dengan judul Kehilangan Ide di Antara 60 Ribu Kata? Sepakat saja, atau tulisan ini berakhir dalam dua paragraf.

Dalam pengalaman menulis kolom, kondisi semacam ini pernah ada. Dengan memicingkan mata, aku menulis dengan judul Begini Ocehan Penulis Ketika Sedang Buntu: Culdesac!. Di lain waktu pada kondisi serupa, aku berpura-pura menulis dengan mengambil tulisan lama lalu mengubah judul dan sedikit utak atik, yang disudahi dengan doa terburuk: semoga semua pembaca mengidap amnesia atau pernah berpapasan dengan Men In Black untuk kemudian secara menyedihkan disinari dengan Neuralizer, semacam alat penghapus kenangan. Atau hanya dibaca oleh pembaca pertama.

Culdesac adalah kondisi buntu, tanpa ide sama sekali anehnya aku tetap memaksa tombol-tombol papan tik bekerja. Culdesac berlawanan arah dengan trance. Trance adalah semacam kesurupan yang menimpa para penulis di saat mereka dipenuhi ledakan ide dan membiarkan alam bawah sadarnya memegang kendali. Setuju saja, atau tulisan ini berakhir dalam empat paragraf.

Sebenarnya bukan tak punya ide. Lintasan ide selalu ada, tapi apakah relevan. Universitas of Southern California bahkan pernah bilang, rerata di kepala manusia muncul 60 sampai 70 pikiran per harinya. Masa tidak ada satu pun ide dari sana?

Bukan begitu caranya. Ini soal rahasia dapur penulis, kecuali bila kita hanya ingin menyalin ulang ensiklopedia atau menulis storytelling paling egois. Stop bilang, menulis itu gampang, tinggal comot sana sini dan adakadabra. Bahkan ada penulis yang menggunakan efek Mozart untuk mengikat ide-idenya.

Kita tinggal di republik kata-kata. Ruang bumi adalah ruang kata. Bayangkan tujuh miliar makhluk berjalan tegak yang memproduksi masing-masing 17.000 hingga 20.000 kata per hari. Itu belum dihitung kata yang diproduksi oleh mesin (semacam: maaf nomor yang ada hubungi sedang sibuk), kata-kata dalam bentuk teks seperti ocehan di ruang gema (echo chamber) dan begitu banyaknya bentuk percakapan maya lainnya. Belum dihitung suara-suara dari musik.

Atau semacam percakapan yang direkam dan bahkan disiarkan dengan repetisi seperti politisi -dengan pemahaman demokrasi superfisialnya-  hari-hari bicara komposisi kursi menteri di TV dengan ekspresi mupeng. Mereka melihat rakyat seperti selongsong peluru yang tergeletak, setelah berhasil melesatkan diri atau kawanan mereka kembali ke lingkaran elite.

Bicara dalam hati atau bicara pada diri sendiri, itu lebih banyak lagi. Mungkin 60.000 kata per hari per orang. Betapa banyak kata yang diproduksi oleh bumi per detiknya. Sejak manusia mulai bicara pada 200 abad lalu, bila tiap kata mengambil ruang satu senti meter lalu ditumpuk-tumpuk, tumpukan itu mungkin sudah sebesar planet Jupiter. 

Para penyair mencipta kata-kata estetik untuk dijadikan puisi. Para filosof menemukan kata-kata terhebat untuk teorema filosofisnya.  Para saintis merakit kata-kata terpenting untuk dijadikan ilmu. Para pemuka agama memilih mutiara-mutiara hikmah untuk berkhotbah. Para buzzer politik mengoleksi kata-kata paling sensasional untuk di-viralkan. Dan para elite merekayasa diksi-diksi propaganda untuk dapat kursi menteri.

Lalu di mana posisi penulis? Mestinya dapat menjadi apa saja bila kita bicara profesionalisme. Penulis dapat dibebani tugas untuk menulis apa saja karena penulis dapat menjadi siapa saja (tidak disarankan untuk buzzer partisan dan elite mupeng). Atau siapa saja dapat menjadi penulis, dan siapa saja dapat memilih untuk tidak menulis.

Memilih untuk tidak menulis, bagi sedikit orang seperti memilih untuk tidak bernafas. Bagian terakhir ini betul-betul anti-mainstream, tapi mereka ada. Ketika terhenyak dalam fase zonk saat ini aku harus memilih apa. Apakah harus berhenti bernafas? Anda punya ide? Atau tulisan ini berakhir dalam 12 paragraf?. ~MNT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun