Alih-alih membiarkan demokrasi menjadi barang rongsokan, bagaimana bila kita sepuh dengan lelehan emas kebijakan. Ini semacam jalan tengah yang lebih tengah ketimbang Aristoteles. Bias demokrasi Athena bisa diatasi dengan membungkam para Sophis yang menjual akrobatik verbal.
Maka hari ini kekacauan narasi karena membiarkan para politisi banyak bicara untuk mengatur negara harus diendapkan. Kita membutuhkan Demokrasi Avant-garde. Avant-garde menunjukkan perlawanan terhadap batas-batas apa yang diterima sebagai norma dalam suatu kebiasaan kaku.
Pengaturan negara harus diserahkan kepada orang-orang brilian. Bila di Athena yang kecil dapat dilakukan secara manual, di kita bisa melalui Big Data atau mengaktifkan mesin Super Crunching misalnya, atau bisa dimulai dengan uji kelayakan dan kepatutan berskala nasional serta masif dari semua disiplin ilmu.
Sehingga kemudian yang terhimpun adalah para aristokrat ilmiah bukan oligarki politika. Tidak ada yang tidak mungkin, mereka bisa dirangkum untuk merumuskan cetak biru (blue print) penyelenggaraan negara. Sementara presiden, gubernur dan seterusnya ditempatkan kepada pemenuhan syarat konstitusional belaka.
Tugas mesin-mesin demokrasi seperti partai politik adalah memproduksi orang-orang terhebat mereka untuk ditawarkan kepada rakyat. Sehingga siapapun yang terpilih untuk duduk di parlemen atau eksekutif sudah pasti orang yang kompeten. Kita tidak usah khawatir bila manusia barbar masuk ke sistem pemilu untuk merusak tabulasi atau surat suara dengan cara tolol.
Titik lemah demokrasi tingkat pertama adalah meloloskan orang-orang tidak layak bahkan invalid dan berpotensi kriminal ke dalam negara dengan cara elektoral atau akrobatik, lalu kita terlalu permisif.
Sejauh ini tidak ada pemimpin parpol yang dihukum karena telah mengirim penjahat ke dalam negara. Atau menghukum mereka dua kali karena telah mengirim diri sendiri ke dalam negara lalu membuat kekacauan. Coba saja ini dilakukan, maka Indonesia akan menemukan bursa orang-orang super yang siap berjuang untuk negara dari parpol yang sudah insyaf.
Titik lemah demokrasi tingkat kedua, adalah kultus individu. Pemimpin yang mereka usung adalah harga mati, padahal jika parpol sebagai produsen kandidat berhasil mengirim orang-orang super, dan negara berjalan secara autopilot melalui aristokrat ilmiah tadi, siapapun presiden yang terpilih, negara terus dapat melesat menuju utopia. Entah belasan atau puluhan kali aku memusuhi cara kerja demokrasi melalui tulisan-tulisan, dan giliran Plato yang diseret keluar melewati tapal batas. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H