Lalu kemunculan John Maynard Keynes pada awal abad 20 yang menandai berakhirnya ekonomi laissez-faire (semacam perlawanan terhadap intervensi pemerintah melalui Ekonomi Pasar Bebas pada abad 18) tidak akan sepenuhnya saya bela, demi menjemput fenomena futuristik yang tak terduga-duga. Apalagi Keynesian adalah penyebab revolusi moneter dan gelembung ekonomi yang sewaktu-waktu akan meledak.
Saya ingin membentuk tulisan saya dalam bahasa filsafat atau setengahnya. Dengan misalnya mempelajari sejarah filsafat ketika mulai jatuh cinta dengan para pria Agora perenung: trio Socrates, Plato, dan Aristoteles. Saya juga menaburkan tempias-tempias pikiran para filosof dunia sepanjang 2.500 tahun di sekujur tubuh tulisan - tulisan saya. Kita akan tahu bagaimana aliran filsafat mengalir, menjadi sempurna atau gagal.
Kilasan - kilasan penting antara filsafat Barat, Timur, dan Islam dihubungkan oleh benang merah dalam lintasan kosmos yang pendek -memandang umur bumi sudah 4,6 miliar tahun- Â siapa yang menjadi pemenang di titik nol kilometer sejarah, siapa meringkuk di abad pertengahan, lalu siapa yang menjadi pangeran di panggung pertunjukan renaisans junto revolusi industri.
Fenomena umum dari kumpulan tulisan adalah seperti ruang dan waktu yang dipadatkan oleh Horizon Peristiwa (Event Horizon), sedangkan tulisan ini berjarak sekitar lima tahun dari tulisan awal. Saya terlihat serius menulis sejarah dunia paling epik, namun tiba-tiba menunggangi kapsul waktu untuk mendarat di masa depan.Â
Maka ide-ide yang saya tulis tidak akan konsisten pada satu dua tema, sementara ritma dan proses intelektual sepanjang pengembaraan literasi memengaruhi tingkat kedewasaan, bias optik dan pilihan diksi yang saya biarkan apa adanya.
Para filosof mendesaki lorong sunyi penggalian pikiran untuk menemukan apa yang terbaik, yang paling indah, dan yang paling benar, ketika banyak orang menari di lantai estetik-hedonistik duniawi dan upaya-upaya parsial sebagai bekal akhir zaman. Ketika mereka butuh utilitas yang sealiran dengan filsafat, filsafat menyambutnya dengan wajah ketat.
Untuk itu bersama tulisan - tulisan ini, saya ingin menitipkan kegelisahan holistis filsafat dengan ramah. Secara lucu sebagai bangsa yang muda dalam bernegara, kita tidak tampak tergesa-gesa di antara satu gunung Everest pekerjaan rumah. Dalam begitu banyak masa dan energi dihabiskan untuk mengulang ritus demokrasi superfisial untuk terlihat bahwa kita sedang bernegara, kita harus segera memendekkan jarak antara kita dengan Utopia: sebuah negara khayali yang didambakan semua orang.Â
Jangan sampai kita kehabisan waktu ketika makin dekat dengan tatanan negara ideal, justru konsep negara sudah tidak dikenal di muka bumi. Negara yang dibentuk  atas kegelisahan eksistensial adalah produk mitos. Dan kita perlu bertaruh, apakah masyarakat global ultra-modernisme kelak masih butuh sekat - sekat mitos yang acap menginterupsi keterhubungan mereka.
Era pemujaan kehendak bebas sebagai penanda post-modernisme diprediksi akan tamat. Manusia masa depan akan terhubung secara digital dalam keteraturan penuh. Kehendak bebas menghasilkan human error tapi big data tidak. Bila kualitas-kualitas manusia di bumi tidak segera membaik, maka upaya menuju Utopia akan diambil alih oleh robot-robot pelaku revolusi digital. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H