Â
Jika sedang beruntung, kita dapat menebak buku apa yang dibaca oleh para figur publik berdasarkan analisis atau teori-teori yang mereka kemukakan. Demi tulisan ini, saya fokus menebak-nebak buku apa di balik pembicara dalam talkshow Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditayangkan salah satu stasiun televisi dalam hampir sebulan terakhir. Mudah - mudahan hasilnya tidak mengecewakan.
Kita mulai saja dari Rocky Gerung, seorang influencer politik yang piawai menarik filsafat dari menara gadingnya ke ruang publik. Filsafat tidak lagi rumit tapi bisa ngepop, meski kadang-kadang audiens memaksa-maksakan diri untuk mengerti. Apakah Rocky seorang filosof? Bisa saja, karena untuk menjadi demikian dibutuhkan dua syarat: menguasai sejarah filsafat atau mencetuskan filsafatnya sendiri.
Rocky adalah orang yang pertama, dia menguasai sejarah filsafat. Saya tidak melihat Rocky memunculkan jenis filsafat baru. Namun senjata yang ia gunakan untuk memblokade pikiran lawan bicara adalah buku -buku Logika dan Filsafat Ilmu. Dengan satu disiplin penalaran deduktif misalnya, ia bisa membungkam pembicara lain yang gagal menghubungkan premis - premis, atau mengutarakan premis absurd.
Rocky juga membantai dengan kejam bila ada pencetusan-pencetusan yang keliru melalui Hermeneutika. Ini adalah cabang filsafat yang mendalami intrepestasi makna. Etimologinya dari mitologi dewa Ilmu Pengetahuan bernama Hermes yang bertugas memberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan para dewa di Olimpus.
Ia melengkapi semua sanggahannya dengan teori-teori linguistik, filsafat bahasa, semiotika, sintaksis dan seterusnya. Yang keseluruhannya dibungkus oleh struktur filsafat: etimologi, epistomologi, dan aksiologi.
Dalam filsafat, penyebutan kitab suci adalah fiksi bukanlah sesuatu yang baru. Yang menjadi baru adalah, ketika ada orang yang berani melontarkannya di ruang publik kita. Saya coba menebak, paling tidak Rocky pernah membaca buku Homo Deus - A Brief History of Tomorrow yang ditulis Yuval Noah Harari, 2015 silam.
Tidak bisa berlama-lama dengan Rocky, kita beralih ke Budiman Sudjatmiko. Dia adalah lawan tanding paling sengit Rocky dalam perang urat syaraf politik kekinian. Rocky dengan kesombongan filsafatnya, dengan mudah menyebut orang ini dungu. Padahal tidak demikian adanya, barangkali Budiman hanya menyamakan frekwensi dengan pravelensi publik.
Keduanya dahulu kala sesama anak kandung reformasi dan pasukan anti kemapanan yang begitu terpesona dengan sosialis-humanisme dan gagal melihat sisi baik kapitalisme Soeharto. Fadli Zon dan Fachry Hamzah juga pernah berada di barisan itu.
Dengan bekal Ilmu Politik di Universitas London dan Master Hubungan Internasional di Universitas Cambridge, Inggris, Budiman tidak tampak kesulitan membentuk kontra narasi untuk menekuk lawan debatnya. Dalam ILC pasca debat capres tempo hari Budiman mencerca Prabowo sebagai pengguna teori Komunikasi Kebohongan. Dari perspektif pribadi, saya melihat ini sebagai manuver cantik kelompok petahana yang akan terbaca seperti: menghibahkan seluruh beban ke keranjang lawan.