Â
Persatuan Indonesia sedang kacau balau di antara dua kutub yang sedang berhadap-hadapan. Siapapun yang terpilih sebagai presiden nanti, ruang virtual kita akan terus diisi oleh episode kebencian sekaligus kedunguan.
Obat penawarnya adalah menidurkan satu generasi masyarakat demokrasi yang ada sekarang atau merombak sistem pemilu yang memicu kekacauan. Sistem bernegara bukan kitab suci, ia bisa ditukar pasang kapan saja sampai Indonesia mencapai tatanan idealnya. Ini adalah efek traumatik rezim reformasi kepada sistem lama, lalu mengadopsi cara Amerika tanpa riset yang selesai.
Dalam tulisan-tulisan bertema demokrasi, saya sudah berbuih-buih menyebutkan bahwa demokrasi langsung dengan alat ukur elektabilitas belum atau bahkan tidak cocok untuk Indonesia. Suhu politik kita dalam pemilihan langsung presiden yang sedang menuju titik didihnya, adalah fakta absolut ketidakcocokan itu.
Saya pikir saya akan sendirian, karena orang-orang hebat negeri ini alih-alih mengumumkan antitesis, malah ikut larut dalam kecamuk. Pegiat filsafat Rocky Gerung dengan narasi akal sehatnya, bahkan tidak berupaya menggantikan sel tubuh yang sudah rusak, tapi hanya mengaktifkan anti virus agar sistem ini tidak terlalu menyerang otak. Di samping tentu saja menegaskan pilihannya.
Sampai akhirnya saya kembali merasa punya pijakan. Pakar Hukum Tata Negara DR Margarito Kamis dan Pakar Politik Prof Salim Said yang tampil di panggung Indonesia Lawyer Club (ILC) tempo hari berbicara hal senada. Berarti saya bukan orang sembrono -menurut saya- dan terlalu terobsesi dengan petuah orang-orang tua berjanggut yang bertapa di Acropolis Athena, 25 abad silam.
Margarito menyarankan, potensi keributan politik yang terjadi pada pilpres hari ini harus diendapkan dengan cara memindahkan dan menguncinya di ruang parlemen seperti pada zaman Sukarno dan Suharto. Di samping tidak menghabiskan energi, waktu dan membahayakan kesatuan bangsa, Rp 24 triliun yang dihamburkan untuk proses pemilu dapat dialihkan kepada hal-hal yang bermanfaat untuk kemajuan bangsa.
Terlalu banyak yang bisa dibangun dengan uang Rp 24 triliun ketimbang hanya untuk kotak kardus dan tetek bengek pemilu tak penting lainnya. Misalnya 48.000 gedung sekolah seharga Rp 500 juta, renovasi 240 ribu sekolah masing-masing Rp 100 juta, atau pembelian 480 miliar buku paket seharga Rp 50.000,-
Pemilihan presiden lewat anggota parlemen menurut Margarito adalah yang paling sesuai dengan Sila IV Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sebagaimana juga yang dipraktikkan di Eropa Barat dalam pemilihan perdana menteri.
Sementara Salim Said meminta agar masa jabatan presiden cukup satu kali. Jika masa lima tahun dianggap kurang, bisa diperpanjang hingga tujuh tahun. Tidak ada yang salah menurutnya, bila kita ingin mengubah sistem pemilu karena Indonesia sedang dalam proses mencari tatanan yang ideal.
Pernyataan Salim Said dapat ditafsirkan bahwa, tidak akan ada pertandingan yang adil jika ada petahana, yang mana program dan fasilitas negara selalu menempel kepadanya. Jika eksekutif lain harus mundur, mengapa presiden tidak. Jika nafsu berkuasa tidak bisa dipuaskan dalam lima tahun, maka perpanjanglah menjadi tujuh tahun. Â