Dalam tulisan singkat ini, saya ingin langsung menyimpulkan bahwa -setidaknya- ada tiga cara pendakian Tuhan bagi pemeluk Monoteisme, yakni memandang Tuhan dengan cara literal dan legalistik oleh para pemuka agama, memandang Tuhan sebagai Yang Maha Agung dan transenden yang berdiam di kejauhan oleh para filosof klasik, dan mengalami Tuhan yang dekat dan menyatu dalam diri manusia oleh para mistikus.
Konflik dan penajaman selisih antarasekte dan antaragama umumnya terjadi di tingkatan literal dan legalistik, mereda di tataran filsafat, bahkan kemudian mensintesa dalam cara pandang mistikus. Teolog Katolik dan Filsuf Skolastik, Thomas Aquinas (1225-1274) misalnya tetap memandang kagum dan mengambil banyak pelajaran dari filosof Muslim khususnya penjelasan Ibnu Rusyd atas Aristoteles.
Mistisisme  sebagai kenderaan utama menuju pengalaman religius lebih mementingkan bagaimana manusia menuju Tuhannya ketimbang tata cara penyembahan-Nya. Sufisme atau Tasawuf dalam Islam juga diidentikkan dengan Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India.
Jalaluddin Rumi (1207-1273) yang sangat longgar kritiknya terhadap inkarnasi Isa, adalah pendiri tarekat Sufi Maulawiyah, yang anggota-anggotanya dikenal sebagai darwis-darwis yang berputar (whirling devishes), mereka menari dalam ambang peniadaan diri (fana').
Demikian pula mistikus Kristen Dante Alighiere dari Florence, dalam syair The Divine Comedy, berkisah tentang perjalanan imajiner melewati neraka, Purgatoria, dan surga hingga penampakan Tuhan. Ini adaptasi terhadap perjalanan spiritual Muhammad dalam peristiwa Isra Mi'raj sebagaimana yang ditulis Ibnu Al Arabi. Al Arabi sendiri adalah filosof metafisika Muslim yang juga beralih menjadi sufi seperti Al Ghazali dalam aliran yang berbeda.
Kisah-kisah pendakian Tuhan di abad modern pula, memunculkan suatu paham yang keluar dari jalur yakni ateisme. Di antara mereka berpendapat, saat ini tidak ada tempat bagi Tuhan di permukaan kosmos setelah terjadi fenomena Big Bang (dentuman besar) muasal terjadi semesta raya. Pierre-Simon de Laplace misalnya, telah mengusir tuhan dari fisika.
Para filosof seperti Descartes begitu percaya Tuhan bisa ditemukan dengan kekuatan akal. Fisikawan Isaac Newton mendaki Tuhannya dengan cara mekanika dan meletakkannya di atas konsep Trinitas, Voltaire menjamah Tuhan dengan cara hukum dan kemudian gagal (ateisme), lalu mengecam doktrin-doktrin tentang Tuhan yang bertentangan dengan standar suci akal. Kemudian Immanuel Kant mencoba menerjemahkan doktrin-doktrin Tuhan dengan sudut pandang etika moral dan mengadopsi sedikit cara pandang Al Ghazali.
Kisah-kisah tentang pergolakan pikiran terlihat anggun dan mengagumkan. Kisah-kisah tentang fanatisme dangkal, mitos-mitos keagungan tribalisme dan kegelapan pikiran telah menyumbangkan huru-hara. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H