Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jangan Ada Satu Huruf dan Angka Pun yang Tersia-sia

25 September 2018   10:49 Diperbarui: 25 September 2018   15:29 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya dalam 600 milidetik, otak manusia dapat memikirkan sebuah kata, mengaplikasikan aturan gramatik, dan mengirimnya ke mulut untuk diucapkan. Tapi begitu kata diucapkan, secara mekanis mulut hanya punya kemampuan bicara 200 kata per menit, sedangkan otak lawan bicara punya daya serap 300 hingga 500 kata per menit.

Tidak jarang bila kita bicara lambat atau normal sekalipun, lawan bicara dapat memotong sebelum kata-kata selesai. Akan banyak ruang kosong dan waktu ekstra yang terbuang dalam setiap sesi menyimak orang-orang berbicara.

Bila kalimat-kalimat dianggap tidak penting atau tidak menarik bagi pendengar, berbicara dengan tidak berbicara hampir tidak ada bedanya. Apalagi jika yang berbicara otaknya lambat, sementara pendengarnya adalah seorang genius.

Tapi bila kalimat yang diucapkan rapat dan berenergi, rumit serta menyita perhatian lawan bicara, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Pendengar akan sibuk menganalisis kata demi kata, bahkan bisa melebihi waktu ekstra yang tersisa. Hal ini berpotensi memunculkan fenomena gagal paham.

Proses yang sama juga terjadi saat kita membaca. Rerata manusia memiliki kecepatan membaca 250 hingga 300 kata per menit, sedangkan kemampuan otak dalam menyerap informasi, tertulis dalam Unlimited Potency of The Brain, berada dalam kecepatan mencapai 100 meter per detik.

Jika sebuah tulisan tidak rapat, atau tak punya energi untuk mengikat pembaca, proses membaca akan menyisakan waktu ekstra untuk melayang-layang entah kemana. Semakin cepat prosesor otak seorang pembaca, pikiran mereka semakin mungkin untuk tidak berada di tempat.

Penulis dan pembaca harus punya minat khusus terhadap aksara dan angka yang akan mengikat di antara keduanya. Jangan sampai ada satu huruf pun yang tersia-sia dalam ruang dan waktu sejarah.

Ada yang menyebut aksara adalah semacam sistem tulisan. Ada pula yang mengaitkannya dengan alfabet dan abjad yang menjadi komponen terkecil dalam setiap tulisan. Mungkin angka juga menjadi elemen dari aksara. Aksara dan angka adalah suatu sistem simbol visual yang tertera pada kertas maupun media lainnya

Secara etimologis, aksara berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tidak termusnahkan. Aksara bermakna kekal atau abadi, dikatakan demikian untuk mengingatkan bahwa peranan besar aksara dalam mendokumentasi atau mengabadikan suatu peristiwa atau kata dalam media tulis.

Para kungfu retorika mulai Demosthenes dan Isocrates sampai Sukarno dan Martin Luther King telah menyihir dunia dengan kata-katanya. Tapi kata-kata itu sebenarnya sudah lenyap bila tak diaksarakan.

Demikian pula angka, bukan hanya suatu sistem lambang yang menyuratkan bilangan, tapi juga adalah simbol fakta yang dapat diukur, dirumuskan dan di-eksaktakan. Peristiwa dan fakta yang diaksarakan akan mudah ditemukan dalam ingatan kolektif manusia.

Para ahli membagi ingatan jangka panjang menjadi ingatan episodik dan ingatan semantik. Ingatan episodik adalah ingatan tentang peristiwa-peristiwa, sedangkan ingatan semantik adalah ingatan atau pengetahuan tentang fakta-fakta.

Ingatan episodik akan memborong sebuah teori kebenaran, ketika manusia mulai enggan mempertanyakan fakta atau angka yang menjadi parameternya. Fakta peristiwa tentang kemiskinan di suatu negara misalnya, tidak bisa diselimuti oleh fakta angka yang berasal dari utak atik data statistik.

Tidak sebangunnya aksara dan angka sudah terpampang lama di halaman sejarah dunia dengan apa yang kita sebut Ilusi Dolar. Ilusi Dolar telah memenuhi hampir semua permukaan bumi, yang membuat begitu banyak ekonomi negara-negara terhegemoni.

Mereka hanya menyuarakan dan mengaksarakan pencitraan Dolar Amerika setara dengan emas (as good as gold). Hingga kemudian tertanam kuat dalam ingatan episodik masyarakat dunia bahwa Dolar adalah hard currency yang setara emas, sedangkan tidak ada ingatan semantik yang sudah membuktikan itu. 

Aksara dan angka bukan semata sistem simbol visual yang tertera pada kertas maupun media lainnya. Aksara dan angka yang kita susun hari ini akan menjadi ingatan kolektif di waktu hadapan. Mestinya tidak ada satu huruf dan angka pun yang tersia-sia atau bahkan menjadi elemen perusak. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun