Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare state) mestinya menjadi sebuah kebenaran perenial yang mencakupi zaman, agama, peradaban dan kebudayaan. Sayangnya hanya sedikit negara di dunia ketiga yang mengimaninya. Bahkan beberapa negara gagal menganggap bahwa welfare state hanyalah utopia yang diigaukan para jemaah Platonik. Kita patut nyinyir untuk mengingatkan bahwa Indonesia secara falsafah mutlak memiliki pijakan welfare state.
Dari beberapa rezim selalu ada gejala untuk melemahkan daya juang welfare state untuk menegaskan bahwa kita sedang terhubung kepada tatanan global beraroma kapitalis-liberal.Â
Untuk itu kita butuh kemampuan membaca gejala (symptomatic reading) terhadap upaya-upaya rezim untuk membelakangi welfare state, yang berarti adalah sebentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.
Menjadi alasan yang dibuat-buat bila liberalisasi ekonomi memunculkan pengabaian terhadap hajat hidup rakyat. Faktanya, semakin terbelakang sebuah negara, semakin jauh pula ia dari label welfare state.
Sejumlah negara maju macam Inggris dan Selandia Baru menyediakan social security, pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal social services) kepada rakyatnya.
Bahkan Amerika Serikat memasukkan orang miskin, cacat dan pengangguran dalam daftar penerima welfare tunai. Di Timur Tengah seperti Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, atau Brunai Darussalam di Asia Tenggara memberikan limpahan kesejahteraan kepada rakyatnya tanpa syarat.Â
Sosiolog T.H. Marshall mengidentifikasi negara kesejahteraan sebagai gabungan demokrasi, kesejahteraan, dan kapitalisme. Para pakar menaruh perhatian khusus pada cara Jerman, Britania Raya dan negara-negara lain dalam mengembangkan sistem kesejahteraannya secara historis.
Negara-negara hebat yang menganut konsep welfare state itu meliputi negara Nordik seperti Islandia, Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Mereka menerapkan sistem yang dikenal dengan istilah model Nordik. Esping-Andersen mengelompokkan sistem negara kesejahteraan paling maju menjadi tiga kategori: Demokratik Sosial, Konservatif, dan Liberal. Artinya negara paling liberal sekalipun tidak pernah abai terhadap isu-isu kesejahteraan publik.
Dalam perspektif paling kini, negara kesejahteraan didefinsikan sebagai konsep pemerintahan ketika negara mengambil fungsi penting dalam perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya, ketimbang hal-hal lain yang bersifat simbolik.
Konsep ini didasarkan pada prinsip kesetaraan kesempatan (equal oportunity), distribusi kekayaan yang setara, serta tanggung jawab masyarakat kepada kaum papa untuk memenuhi persyaratan minimal hidup layak. Istilah ini secara umum bisa mencakup berbagai macam organisasi ekonomi dan sosial.
Gejala pengingkaran terhadap welfare state segera tampak kasat mata, bila negara tak mampu menyediakan paket-paket kesejahateraan berupa biaya hidup terjangkau. Kemudian lenyapnya subsidi dan meningkatnya pungutan serta di antara program yang berpotensi semakin menjauhkan rakyat dari sejahtera. Berhentilah bicara soal-soal lain, jika ini tidak selesai.
Sebuah negara yang dibangun tanpa landasan kecerdasan dan pengetahuan tak ubahnya seperti istana pasir. Memetik Yudi Latief, ada semacam ilusi bahwa tindakan bisa dijalankan secara benar tanpa pemikiran yang benar.
Gelombang anti-intelektualisme ini sebagian merupakan arus balik dari pengkhianatan intelektual karena desakan kebutuhan para elit di lingkar istana. Menyusul semakin permisifnya jalan pintas menggapai kekuasaan di tengah kelemahan publik membaca gejala-gejala.
Membangun negara harus melalui cara bagaimana kedaulatan menyatakan dirinya dalam bidang pengetahuan. Negara dapat dipandang sebagai mesin pengumpul kecerdasan (intelligence gathering machine).
Dalam kaitan ini, mestinya negara cerdas dan fokus kepada kesejahteraan masyarakat, bukan malah menyusun premis-premis kocak-dangkal untuk membangun silogis bahwa kita sudah berada di track yang benar.
Kita telah lama memasuki zaman kelupaan, bahwa tindakan kebijakan yang berada di luar garis welfare state hanyalah kegagalan, apapun alasannya. Mestinya semua ikut nyinyir ketika welfare state makin tak menemukan pijakannya, kecuali UUD 1945 yang mengamanatkan soal itu telah terhapus.
Seperti diingatkan Lyndon B Johnson: tugas terberat seorang pemimpin bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar. Tanpa pengetahuan yang benar, ketangkasan bertindak hanya akan mempercepat kegagalan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H