Sebuah negara yang dibangun tanpa landasan kecerdasan dan pengetahuan tak ubahnya seperti istana pasir. Memetik Yudi Latief, ada semacam ilusi bahwa tindakan bisa dijalankan secara benar tanpa pemikiran yang benar.
Gelombang anti-intelektualisme ini sebagian merupakan arus balik dari pengkhianatan intelektual karena desakan kebutuhan para elit di lingkar istana. Menyusul semakin permisifnya jalan pintas menggapai kekuasaan di tengah kelemahan publik membaca gejala-gejala.
Membangun negara harus melalui cara bagaimana kedaulatan menyatakan dirinya dalam bidang pengetahuan. Negara dapat dipandang sebagai mesin pengumpul kecerdasan (intelligence gathering machine).
Dalam kaitan ini, mestinya negara cerdas dan fokus kepada kesejahteraan masyarakat, bukan malah menyusun premis-premis kocak-dangkal untuk membangun silogis bahwa kita sudah berada di track yang benar.
Kita telah lama memasuki zaman kelupaan, bahwa tindakan kebijakan yang berada di luar garis welfare state hanyalah kegagalan, apapun alasannya. Mestinya semua ikut nyinyir ketika welfare state makin tak menemukan pijakannya, kecuali UUD 1945 yang mengamanatkan soal itu telah terhapus.
Seperti diingatkan Lyndon B Johnson: tugas terberat seorang pemimpin bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar. Tanpa pengetahuan yang benar, ketangkasan bertindak hanya akan mempercepat kegagalan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H