Picasso lahir di Malaga, Spanyol 25 Oktober 1881. Ia adalah sebaris seniman yang terpengaruh oleh kehidupan sosial pada masa sulit dan peperangan. Hal yang kemudian terefleksi kepada obyek dan komposisi lukisan Kubisme.
Obyek yang merepresentasikan kegelisahan dan penuh simbolis banyak diungkapkan para seniman sebelum perang. Suasana kekacauan sosial dan ketatanegaraan juga tidak lepas dari perhatian. Ketidaksetujuan terhadap kekejaman dan kekerasan perang muncul pula ke permukaan kanvas sebagai tema pilihan.
Picasso seorang melankolis, berkepribadian kuat, egois dan hidupnya sangat bebas tercermin dari karya-karyanya yang kontroversial dan sangat ekspresif, beda dari yang pernah ada sebelumnya.
Di sisi lain, kemelankolisan Picasso terungkap dari sifatnya yang sangat sensitif serta rinci dalam menilai suatu kenyataan hidup. Ia sanggup membuat kenyataan hidup itu sebagai sumber inspirasi karyanya.
Misalnya, lukisan Mesra Cinta (periode biru) yang bersuasana muram dan pesimis, mencerminkan masa-masa sulit Picasso di tengah situasi yang kompetitif. Lukisan Guernica yang menjadi pusat mata di Museum Reina Sofia (Madrid) adalah goresan tangan dari hasil ingatannya pada tragedi berdarah awal tahun 1930-an.
Picasso seolah menegur kepada kita yang terlalu memuja eksistensi. Bahwa fakta yang terlihat dari fenomena optik yang tertangkap oleh lensa mata kita hanyalah fakta kanvas alam semesta. Tidak mutlak sebagai esensi atau kebenaran.
Seperti dipercaya Platonis, bahwa yang terlihat di alam semesta hanyalah bayangan dari idea. Terungkap oleh Mitos Gua dalam Republic (Plato) bahwa objek yang terlihat di dunia adalah pantulan bayangan idea belaka.
Untuk kembali mengingatkan kita bahwa di balik teks ada konteks, di balik fakta ada ketersembunyian. Di balik bayangan ada objek di depan cermin, di balik negara fakta (distopia) ada negara filosofis (utopia).
Dunia ini terlalu luas untuk sekadar berkutat pada ilusi optik dari sepenggal fakta yang kita terima itu ke itu saja. Guna memecah kebekuan dan kebuntuan konservatif, ada baiknya kita membongkar cara berpikir kita seperti cara kubisme: pada awalnya obyek diuraikan atau dianalisis, kemudian menuju proses abstraksi lalu ditarik pada suatu sintesa.
Bahkan obyek dikumpulkan pada suatu tempat, dan bertumpuk, saling menumpang, dan terkadang bertransparansi, menuju kepada realitas baru. Mengapa takut untuk membuat tikungan tajam dari jalur biasa? Bukankah Kubisme Picasso sudah dibayar mahal untuk itu. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H