Bagi eksistensialis, kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, sehingga batasan dari kebebasan dari setiap individu hanyalah kebebasan individu lain.
Maka di dalam zona Ramadan, pikiran kita yang mungkin terhegemoni oleh eksistensi yang dibangun oleh filsafat barat dapat segera dinetralisasi, sebab Ramadan sepenuhnya otoritas Tuhan. Orang berpuasa tidak diberi sedikitpun kebebasan untuk menentukan anasir benar dan salah bagai eksistensialis, kecuali sudah digenggam penuh oleh Allah.
"Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untukKu dan Aku yang akan membalasnya," demikian firman Allah dan hadist Qudsi.
Sehingga dalam Ramadan, dalil filsuf Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi dapat dipatahkan di sini. Karena dalam Ramadan - dan memang semestinya dalam iman - bahwa esensi manusialah yang mendahului eksistensinya.
Esensi sendiri adalah landasan dasar manusia yang tak bisa diubah-ubah yang terikat aturan Tuhan, sedang eksistensi adalah pilihan bebas. Bagi manusia bertuhan eksistensinya akan dipandu oleh esensinya sebagai penghamba Tuhan.
Para filsuf yang menganut mazhab eksistensialisme mungkin hanya meletakkan eksistensi pada prinsip fenomonologis yang berdasarkan hanya kepada fenomena yang tertangkap oleh kesadaran pengalaman indera manusia. "Cogito ergo sum:aku berpikir maka aku ada," kata Descartes.
Dengan kata lain, manusia tidak lagi ada ketika mereka berhenti menangkap fenomena untuk memandu eksistensi mereka.
Ramadan telah mengajak seorang Muslim pulang kepada pengembaraan spritualitas yang hakiki. Sadar atau tidak, kita yang saban waktu melakoni diri sebagai makhluk materialis bahkan begitu taklid kepada eksistensialis, Ramadan dapat dijadikan momentum untuk mengenal esensi.
Sebagai makhluk beragama yang melaksanakan ibadah sebatas ritual kosong bahkan narsistik, Ramadan dapat menjadi terminal kontemplatif untuk memperbaiki tujuan-tujuan ibadah.
Ramadan secara universal akan mendatangkan nilai tambah bagi hubungan theosentris kita sebagai hamba Allah dan hubungan antroposentris sesama Muslim dan sesama makhluk. Â ***
Muhammad Natsir Tahar