Kalau Prancis dapat menunjukkan Code Civil-nya yang menjadi kebanggaan mereka, Swiss dengan Zivil Gezetzbuc-nya yang terkenal, diikuti dengan RRC dan Filipina yang sudah punya Code Civil masing -masing, Indonesia belum juga dapat menunjukkan kepada tamu-tamu asingnya Kitab Undang-Undang Hukum Nasional, baik dalam bidang keperdataan maupun kepidanaan.
Sejak zaman Belanda, Hukum Islam sudah digempur melalui Teori Receipte. Dalam teori ini hukum Islam dipertentangkan dengan hukum Adat (yang dimaksud hukum artifisial ciptaan para sarjana Belanda). Teori ini digagas oleh tokoh orientalis Belanda Snouck Hurgronje - menyamar sebagai agamawan bernama Abdoel Gafar - Â oleh intelektual Muslim Hazairin teori tersebut dikecam sebagai teori Iblis.
Perihal agama dan Negara terus menjadi Dikotomis. Tahun 1970, Nurcholis Madjid memunculkan pandangan bahwa dalam Islam, antara agama dan Negara adalah dua hal yang berbeda walaupun tidak terpisahkan. Setidaknya pandangan ini dapat menjadi jalan tengah bahwa substansi keislaman lebih penting ketimbang formalisasi teks-teks Islam.
Agus Muhammad Najib dalam tesisnya Pengembangan Metodologi Fikih Indonesia dan kontribusinya bagi pembentukan hukum nasional menyebut, pemikiran fikih Indonesia adalah jalan tengah di antara kelompok formal-tekstual dengan kelompok kultural-substansial.Â
Kelompok terakhir menekankan bahwa yang lebih penting adalah penyerapan nilai-nilai Islam secara kultural daripada formalisasi teks. Sementara Najib menyebut, pemikiran fikih yang bersifat formal-kontekstual adalah jalan tengah atau moderat. Hal ini merupakan upaya untuk memformulasikan hukum Islam supaya dapat sesuai dengan konteks sosial kultural masyarakat Indonesia.
Titik pemikiran kita sebagai jalan tengah adalah dengan menyadari bahwa Indonesia bukan Arab apalagi Belanda. Meskipun di antara keduanya terdapat benang merah. Â
Seperti kata Prof DR Busthanul Arifin, sebenarnya hukum Belanda sebagai asal hukum positif di Indonesia adalah juga berasal dari hukum Islam. Sistem hukum sipil (kontinental) jalur pengambilannya adalah dari khazanah hukum Islam Mesir, khususnya Iskandaria, dan sistem hukum Anglo Saxon dengan jalur pengambilannya dari Sicilia yang pernah dikuasai Islam.
Menurut Busthanul, penegakan hukum secara aplikatif berbeda dengan penegakan hukum sebagai komoditas politik yang terjerumus pada apologistik (membela iman) tanpa berupaya mewujudkan hukum lainnya yang ada di Indonesia.Â
Selagi belum ada konsensus nasional tentang perumusan Hukum Nasional Indonesia, selama itu pula Piagam Jakarta akan menjadi api dalam sekam. Sekarang tinggal kita, pilih teks atau konteks?. ***
Muhammad Natsir Tahar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H