Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Indonesia dan Stigma Dunia Ketiga

22 November 2017   18:40 Diperbarui: 22 November 2017   20:38 3838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel Bordeaux Tiga yang ditulis W Mahdayani mengisahkan tentang Kelana Putri, seorang mahasiswi yang mendapat beasiswa ke Perancis. Sepanjang pertemuannya dengan Patricia, mahasiswi setempat, Kelana acap mendapat teror verbal atas eksistensinya sebagai pelajar yang berasal dari Indonesia.

Bordeaux Tiga- sebuah kota kecil di Perancis - sepertinya diangkat dari kisah nyata dan Patricia digambarkan sebagai mimpi buruk dari warga negara maju yang tinggi hati. Bahkan untuk menyebut nama Indonesia ia lebih nyaman menggantinya dengan frasa "Dunia Ketiga". Untuk beberapa negara seperti Bangladesh, India, Thailand, Kuba, Somalia dan segala yang bisa dibayangkan tentang negara berkembang sebentang Afrika, Amerika Latin, Oceania dan Asia, mulut - mulut semacam Patricia memilih untuk menempatkan mereka dalam kelompok stigma: Negara Dunia Ketiga dan tidak perlu ada beban untuk menghapal nama-nama negara tersebut.

Fenomena ini lebih menyesakkan ketimbang superstar Justin Bieber-yang mungkin karena wawasan geografinya minim-memanggil Indonesia sebagai random country, negara acak atau negara sembarangan. Dunia Ketiga diasosiasikan sebagai negeri berdebu, kacau, kemiskinan absolut, korup, bekas jajahan, bodoh, dikelilingi gangster serta jaringan narkoba yang tak terkendalikan oleh pemerintah setempat yang korup.

Stigma ini selalu melekat dan belum ada tanda-tanda akan berakhir sementara kita terus berada atau masih menyisakan atau malah masih menumpuki semua kosa kata buruk yang dapat digambarkan tentang Dunia Ketiga. Patricia dan orang-orang lainnya yang beraliran konservatif, feodal dan mereka yang tersihir oleh kitab-kitab klasik memiliki dalil yang kuat untuk tidak usah menghapal apapun tentang Negara Dunia Ketiga - jika tak jua berubah - kecuali sumpah serapah.

Menurut  Jurnal "What was the Third World", Tomlinson, B.R. (2003), Dunia Ketiga adalah istilah yang pertama kali diciptakan pada 1952 oleh seorang demografer Perancis Alfred Sauvy untuk membedakan negara-negara yang tidak bersekutu dengan Blok Barat ataupun Blok Soviet pada masa Perang Dingin.

Namun sekarang istilah ini sering dipergunakan untuk merujuk negara-negara yang mempunyai Indeks Pengembangan Manusia PBB (IPM), terlepas dari status politik mereka (artinya bahwa Republik Rakyat Tiongkok, Rusia dan Brasil, yang semuanya saling bersekutu dengan erat selama Perang Dingin, seringkali disebut Dunia Ketiga). Namun, tidak ada definisi yang obyektif tentang Dunia Ketiga atau negara Dunia Ketiga dan penggunaan istilahnya tetap lazim.

Sebagian orang di lingkungan akademis menganggap istilah ini sudah kuno, kolonialis, diskriminatif dan tidak akurat. Namun ternyata istilah ini tetap dipergunakan.  Pada umumnya, negara-negara Dunia Ketiga bukanlah negara industri atau yang maju dari segi teknologi seperti negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), dan karena itu di lingkungan akademis digunakanlah istilah yang lebih tepat secara politis, yaitu Negara Berkembang.

Istilah-istilah seperti "Selatan yang Global", "negara-negara yang kurang makmur", "negara berkembang", "negara yang paling kurang maju" dan "Dunia Mayoritas" telah semakin populer di kalangan-kalangan yang menganggap istilah "Dunia Ketiga" mengandung konotasi yang menghina atau ketinggalan zaman.

Istilah Dunia Keempat pula - yang merujuk kepada negara-negara yang paling kurang maju - digunakan oleh sejumlah penulis untuk menggambarkan negara-negara Dunia Ketiga yang termiskin, yakni mereka yang tidak memiliki infrastruktur industri dan sarana untuk membangunnya. Namun yang lebih lazim lagi istilah ini digunakan untuk menggambarkan penduduk pribumi atau kelompok-kelompok minoritas tertindas lainnya di lingkungan negara-negara Dunia Pertama.

Daripada tersinggung atas semua stigma dan penempatan Indonesia sebagai Dunia Ketiga, ada baiknya kita berbenah ke dalam. Bukan tidak bisa Indonesia melejitkan IPM-nya selevel negara maju, bisa. Tapi lihatlah negeri ini, sepanjang umurnya ditimpa ujian tak henti, uang untuk sekolah tinggi-tinggi sudah digerogoti mulai dari kolonialisme berlanjut ke neokolonialisme, pengekangan rezim, mega korupsi, dan sekarang sedang berada dalam kekacauan abad digital yang menyeret anak bangsa ke dalam perdebatan dan perseteruan low context.Kapan punya waktu untuk belajar?  ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun