Manusia mampu mencipta semestanya sendiri, apakah bahagia atau nestapa. Tuhan sudah selesai merekayasa cetak biru kehidupan, sedangkan manusia menjadikannya hitam atau putih. Kepada manusia diberikan tongkat ajaib yang akan menuntun seluruh proses. Tongkat ajaib itu adalah prasangka.
Kalau boleh menebak, manusia-manusia menyangka neraka akan jauh lebih besar dari surga. Manusia memeluk keyakinan dari agama-agama yang mulanya sangat terpencil, kemudian meluas, ditolak atau diterima. Agama-agama tidak pernah menjangkau seluruh bumi. Lalu setiap agama mengklaim paling masuk surga. Jika umatnya hanya sepersepuluh dari penduduk bumi, maka sembilan dari sepuluh lainnya adalah penghuni neraka. Dengan demikian bisa saja dengan sangkaan ini, luas neraka akan sembilan kali lipat dari surga.
Tampaknya, Tuhan hanya menciptakan umat manusia seperti catatan statistik: sembilan dari 10 orang akan dibakar. Manusia dicipta semata untuk dibakar kecuali sedikit orang suci dan nabi-nabi. Itu belum termasuk umat seagama yang pendosa, yang tentunya tidak akan bisa tiba di surga dengan bangga tanpa melewati ruang pembakaran penuh siksa.
Dari premis sedemikian rupa, manusia terliputi oleh pengaruh-pengaruh neraka. Sebentang sejarah bumi adalah konstalasi dari tragedi, Tuhan seolah melihat dari ketinggian dengan wajah murka, lebih banyak menghukum dengan sedikit pengampunan. Hingga akhir zaman sekarang, kita telah menonton semua keburukan itu. Keburukan purbawi yang diturunkan secara genetis.
Berita-berita yang disiarkan dari layar gelas sampai viral-viral sosial media, didominasi oleh framing yang disusun dari anasir negatif: perang, genosida, persekongkolan, penyelewenangan, pembunuhan, tangkap tangan, rekayasa, pergaulan bebas, obatan terlarang, konspirasi, kecelakaan, bencana alam, perkosaan, politik kotor dan kampanye hitam.
Kita lebih suka melihat berita buruk ketimbang puja puji. Lebih gemar melihat kengerian daripada suka ria. Lebih hafal wajah koruptor ketimbang wajah penemu. Yang viral itu anak baru tumbuh yang terekam main kuda-kudaan, ketimbang juara Olimpiade Fisika Internasional. Jangan salahkan jurnalisme zaman sosmed yang memihak kabar sensasional ketimbang faktual, karena wajah industri media adalah pantulan cermin buram dari pilihan masyarakat.
Mulai zaman Batu Tua (Paleolithikum) hingga zaman Lembah Silikon, manusia didominasi oleh aura negatif, seolah ingin membuat pembenaran bahwa neraka memang kampung akhir hampir semua orang. Jelata merindukan perang seperti moyangnya. Para tiran berdiri di atas podium dengan wajah malaikat untuk mendiktekan hasrat haus kuasa.
Sebanyak-banyaknya orang percaya bahwa dunia adalah tempatnya masalah. Sehingga keburukan adalah bagian yang sulit dipisahkan. Tapi mari kembali ke paragraf awal: Manusia mampu mencipta semestanya sendiri, apakah bahagia atau nestapa?
Ada manusia yang bisa melihat sisi baik dari semua fakta dan fenomena. Baginya segalanya adalah baik atau kebaikan yang tertunda. Jika sesuatu itu memang buruk, pastilah itu hikmah tersembunyi. Tuhan diimajinasikan sebagai zat penuh kelembutan dan pengampunan. Prasangkanya terhadap Tuhan dan umat manusia adalah prasangka kebaikan. Ia memancarkan aura positif kemanapun perginya.
Literatur psikologi menyebut, Aura merupakan sebuah energi daya tarik yang berada di dalam diri manusia, sehingga ia bagaikan medan elektromagnetik yang mengelilingi tubuh manusia (Human Energy Field - HEF) untuk menarik setiap energi yang ada di sekitarnya.
Studi dari The Law of Attraction telah menyebabkan ribuan orang mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. The Law of attraction atau Hukum Tarik Menarik mengupas banyak hal tentang keterikatan manusia dengan semesta yang saling terkoneksi. Pikiran-pikiran atau prasangka yang baik akan menarik lebih banyak kebaikan pada diri seseorang, demikian pula sebaliknya.
Orang yang memiliki aura positif akan selalu bahagia dan penuh syukur bagaimana pun kondisinya. Bahkan mereka mampu membuat seseorang yang mulanya bengis menjadi santun dan hormat kepadanya. Ia penuh kharisma, berwajah ceria dan mengundang simpati dari khalayak.
Jika dalam suatu negeri lebih banyak orang yang beraura positif atau memancarkan energi positif, maka damai dan makmurlah negeri itu. Orang-orang positif jauh dari sikap fatalistik yang menyerembabkan  mereka dalam derita. Orang-orang positif tidak terjebak kepada paham eksistensialisme yang untuk tujuan tertentu tak mampu membedakan benar dan salah.
Orang-orang positif, gerak laku dan pikirnya adalah dialektika menuju kebenaran hakiki. Maka ia terbuka untuk semua diskursus dan ide-ide terbaik dari siapa saja. Orang-orang positif dekat dengan Tuhannya, memegang teguh keimanan tapi tak lancang membuat daftar siapa yang masuk ke surga dan siapa pergi ke neraka. Orang-orang positif tidak memukul tapi merangkul. Baginya rahmat Tuhan jauh lebih besar dari kemurkaan-Nya. Orang-orang positif lebih sedikit di alam nyata, lebih banyak di alam imaji. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H