Sekitar 1782 datang ke perairan Riau dan berlabuh di muka pulau Bayan sebuah kapal dagang bernama Bestsy memuat candu 1.154 peti. Peristiwa ini dilaporkan oleh Raja Haji kepada Residen Gerrit Pangal di Tanjungpinang Riau. Residen Gerrit Pangal melaporkan kepada Gubernur Belanda di Melaka. Kompeni Belanda langsung membawa sebuah kapal Perancis dengan nakhodanya Mathurin Baerbaron untuk merampas kapal Kompeni Inggris Betsy tanpa mengikut sertakan Raja Haji dalam perampasan itu.
Kelakuan Belanda yang menginjak-nginjak itu sangat menyinggung parasaan Sultan dan Raja Haji. Apalagi tawanan dan barang-barang sitaan yang dirampas Belanda di pulau Bayan sedikitpun tidak diserahkan kepada Sultan. Setelah lama menunggu kabar dari Melaka tentang pelaksanaan perjanjian tersebut, maka Raja Haji menentukan sikap untuk membuat perhitungan dengan Belanda. Ia memeranginya hingga wafat di medan tempur.
Jika Belanda tidak mencurangi perjanjian ini, maka Raja Haji mungkin hanyalah bangsawan biasa yang tiada menyandang gelar Fisabilillah di belakang namanya, apalagi termaktub sebagai Pahlawan Nasional. Itu poinnya. Atau Raja Ali Haji, yang sangat khas pribumi, ramah tamah dan tidak sombong. Ia bersedia membagi ilmunya kepada Belanda, membuat kamus tata Bahasa Melayu dan bersahabat pena dengan Von de Wall, seorang kelahiran Jerman yang bekerja untuk Belanda.
Indonesia ini sebenarnya tidak perlu dikerasi, semuanya akan kau dapatkan kalau pandai mengambil hatinya. Datang saja baik – baik, berdaganglah dengan cara paling kapitalis yang kalian bisa, atau buatlah seperti hubungan bilateral yang suci seperti sekarang – sekarang ini. Transfer ilmu, transfer budaya, celana panjang, sepatu, karpet, cerutu, bahasa, BH, sepeda, meja kursi dan bedil ditukar saja dengan segala rempah, timah, minyak, kopi, tebu, sebut saja. Bedil bukan untuk ditembakkan ke dada, tapi bisa dipakai berburu pelanduk bersama pribumi, indah bukan? Tapi kau mengibarkan gold, glory, gospel.
Membangun jalan – jalan, jembatan dan rumah – rumah Victoria dan mendirikan sekolah – sekolah, mengajari orang kampung membaca huruf latin tentang kehebatanmu. Dan kota - kota dibangun  dengan landskap sehebat Amsterdam, paling tidak seperti Singapura yang ditata Raffles.
Serugi apakah kau jika ini yang dilakukan?. Siapa pula kau yang telah merusak hubungan ini, kelicikanmu bahkan melahirkan pahlawan – pahlawan yang kami tangisi tiap tahun. Kau pula yang mewariskan Civil Code yang setia menginspirasi ruang - ruang pengadilan kami. Dan kau juga menciptakan pewaris mental inlander, mental terjajah yang kadang - kadang masih menghinggapi cara kami berpikir. Puas kah kau? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H