Dengan bekal pengetahuan dan teknologi dalam genggamannya, orang Eropa menjadi petaka bagi dunia terbelakang. Mereka pun menghancurkan peradaban Aztec, Inca dan Indian di Amerika, Aborigin di Autralia dan Maori di Salendia Baru. Dengan kapal – kapal mesin uap, mereka mengangkut budak – budak Afrika untuk menjadi petani tembakau di Amerika atau pemuda – pemuda dari daratan Cina sebagai buruh kasar perkebunan teh di Sumatera Timur. Petaka serupa menimpa pribumi Indonesia sebagai tujuan awal ekspedisi Eropa. Ratusan tahun lamanya bangsa ini gemetar di bawah todongan senjata.
Buang yang keruh ambillah yang jernih. Sisi malaikat Eropa adalah kegairahan belajar dan menghargai ilmu pengetahuan. Sisi iblisnya adalah penjajahan dan penghisapan. Maka ambil sisi malaikat itu dengan menegakkan perpustakaan megah di berbagai kota di Indonesia.
Untuk menciptakan kota sebagai pusat peradaban, pusat kajian khazanah sejarah, taman para penulis dan tempat berkumpulnya orang – orang cerdas perlu menjadikan perpustakaan sebagai ikonik. Setiap kota bisa menjelma menjadi kota baca, kota pustaka, kota cendikia dan perpustakaan super megah yang menyimpan jutaan buku terbaik di dunia adalah kuncinya. Sulit mana dibanding Eropa masa lalu? Ketika ilmu mesin cetak belum kelar di otak Gutenberg, harga satu buku ada yang menyamai mobil Roll Royce,tapi mereka membelinya untuk dijadikan koleksi pustaka. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H