Globalisasi tidak muncul bersamaan dengan Theodore Levitt yang menulis Globalization of Markets (1983). Ia telah ada sejak Adam mengembara mencari Hawa, bahtera Nuh berlayar untuk menemukan daratan dan rombongan Musa menyeberangi Laut Merah yang terbelah.
Pengembaraan bangsa Polinesia, pelaut Viking, Columbus, Ibnu Batuta, Marcopolo, Laksmana Cheng Ho, ekspedisi mengelilingi dunia oleh Enrique Maluku dan Sebastian de Elcano serta masih banyak lagi adalah jahitan sejarah globalisasi umat manusia zaman dahulu kala. Bahwa pergerakan manusia tak bergantung pada aturan jam pasir, dan tidak ada sekat – sekat yang mampu menghalang hingga ke dinding Alaska.
Globalisasi kekinian menyebabkan dunia kian menyusut akibat teknologi internet menghubungkan satu demi satu manusia secara real time, dan sebentar lagi internet bisa diakses di hutan manapun. Tidak akan ada yang bisa bersembunyi selama ia mengenggam gadget sejak Google meluncurkan Google Project Loon.
Levitt membuat istilah globalisasi menjadi sempit sehingga seolah – olah hanya berhubungan dengan masalah ekonomi. Berikut beberapa catatan tentang globalisasi setelahnya. Jurnalis Thomas L. Friedman memopulerkan frasa flat world (dunia datar). Ia berpendapat bahwa perdagangan global, outsourcing, rantai suplai, dan kekuatan politik telah mengubah dunia lebih baik atau buruk secara permanen. Ia menegaskan bahwa globalisasi berlangsung semakin cepat dan pengaruhnya terhadap organisasi dan praktik bisnis akan terus berkembang.
Sementara Ekonom Takis Fotopoulos mendefinisikan globalisasi ekonomi sebagai pembebasan dan deregulasi pasar komoditas, modal, dan tenaga kerja yang berujung pada globalisasi neoliberal masa kini. Ia memakai istilah globalisasi politik untuk menyebut kemunculan kaum elit transnasional dan hilangnya negara bangsa.
Globalisasi budaya digunakan untuk menyebut homogenisasi budaya dunia. Istilah lainnya adalah globalisasi ideologi, globalisasi teknologi, dan globalisasi sosial.
Manfred Steger, dosen studi global dan ketua riset di Global Cities Institute di RMIT University, mengidentifikasi empat dimensi globalisasi empiris utama yakni ekonomi, politik, budaya, dan ekologi, ditambah dimensi kelima (ideologi) yang melintasi empat dimensi lainnya. Menurut Steger, dimensi ideologi dipenuhi oleh serangkaian norma, klaim, kepercayaan, dan penjelasan tentang fenomena itu sendiri.
Lalu bagaimana dengan keadaan senjakala globalisasi atas faktor Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) serta kemenangan kubu Britain Exit (Brexit) di Inggris menyusul Greek Exit (Grexit) di Yunani? Kemudian bagaimana dengan tren kebangkitan tokoh populis berhaluan kanan yang cenderung anti globalisasi, anti imigran, bahkan anti kemapanan dalam pemilu di sejumlah negara maju?
Hal ini diprediksi akan menjadi sumber ketidakpastian baru arah perekonomian global, yang cepat atau lambat akan berpengaruh pada Indonesia. Pertumbuhan ekonomi global yang anemik masih menjadi ciri utama era normal baru kali ini. Pergerakan tajam sektor finansial serta perlambatan perdagangan dan investasi global diperkirakan masih terus berlanjut. Era normal juga ditandai dengan lonjakan pengangguran dan ketimpangan begitu tinggi dan diperparah oleh perubahan iklim.
Jadi Indonesia tidak bisa lagi mendewakan globalisasi pasar bebas dengan masih berkiblat pada Konsensus Washington. Sedang Trump yang berperan sebagai induk semang globalisasi kini melancarkan politik proteksionis ekonomi dan membatasi buruh migran. Tidak juga bisa kita berharap kepada Tiongkok yang sebelumnya sempat dianggap menjadi “penyelamat” di tengah perlambatan ekonomi dunia karena kini justru menjadi sumber ketidakpastian dan resiko.
Untuk menyelamatkan nilai tukar, acuan fundamental ekonomi tidak mesti beralih dari Dollar AS ke Yuan Tiongkok. Pengamat Ekonomi, Yanuar Rizky memiliki kekhawatiran tersendiri, jika keinginan Presiden Jokowi untuk beralih dari Dollar AS ke mata uang Yuan Tiongkok jadi diterapkan.