Bayangkan jika semua komponen harga yang kita bayar untuk tanah, masuk ke kas negara, maka sebuah kota semegah Singapura bisa saja tercipta. Tapi sudah terlambat, sebagian besar bumi Batam sudah berpindah ke pihak ketiga dengan cara–cara akrobatik, dengan demikian mereka akan menjualnya dengan harga sekehendak hati.
Pusat tiba–tiba menyadari besarnya kebocoran dari potensi lahan di Batam. Seperti Tuan Takur yang kebakaran uban, mereka mengirim orang-orang baru ke wilayah ini untuk melakukan reformasi total terhadap personel lahan yang sudah rusak dan mengumumkan kenaikan tarif UWTO dengan angka yang fantastis. Daripada putih tulang, BP Batam sekarang ingin memastikan bahwa tidak ada lagi biaya siluman untuk lahan yang masih tersisa, kecuali menjadi pungutan resmi yang masuk ke kas negara. Ya itu tadi, dengan menaikkan tarif UWTO. Pilih yang mana, UWTO baru dengan tarif murni atau UWTO lama dengan sejumlah biaya siluman?
Mengenai ide untuk menghapus UWTO untuk sektor perumahan, sebagai bagian dari tim penulis buku tentang Sejarah Otorita Batam (Directory Batam 2003 dan 35 Tahun Otorita Batam, Bercermin Sejarah Menyongsong Masa Depan) saya tidak menemukan bahwa sektor perumahan menjadi bagian dari Master Plan awal dan rencana kerja Otorita Batam, kecuali dalam bentuk dormitori untuk karyawan.
Meski sudah tiga kali dilibatkan dalam penulisan buku Batam Real Estate Directory dari REI Khusus Batam, saya ingin mengatakan bahwa sektor properti hanyalah efek samping dari peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali. Sektor ini bahkan memakan lebih banyak porsi untuk Batam daripada empat bidang utama tadi (perdagangan, perindustrian, pariwisata, dan alih kapal).
Janganlah kita menutup mata bahwa setiap rumah atau ruko yang kita beli, setiap tahun harganya terus meningkat berdasarkan hukum supplay and demand, karena ia telah diatur oleh tangan–tangan tak kentara (invisible hand) dalam hukum ekonomi pasar. Nilai UWTO yang akan dan telah kita bayar dalam hal ini masih berada jauh dibanding nilai ekonomis yang akan naik berkali lipat di tahun-tahun mendatang. Toh, hasil dari membayar UWTO sudah pun kita miliki dengan infrastruktur Batam yang terbaik di antara kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Dengan demikian usulan menghapus UWTO untuk sektor perumahan harus dibicarakan pada tingkat lanjut, agar rakyat tak terzalimi, agar tanah Batam tetap bermartabat. Kita menunggu yang arif dan bijaksana menemukan jalan tengah. Berpikir adil itu sulit, tapi kita harus memulai. Satu lagi, cobalah untuk tidak: sedikit-sedikit terperanjat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H