Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tanpa Filsafat, Sejarah Menjadi Zombie

12 Oktober 2016   10:59 Diperbarui: 12 Oktober 2016   12:20 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kaum historian tidak bertugas untuk menghidupkan bangkai sejarah seumpama Zombie yang kosong pikirannya lalu memangsa otak siapa saja. Para ahli sejarah bukanlah Pendeta Voodoo pembangkit mayat hidup yang tampak menakutkan sekaligus menggelikan karena berjalan gontai dengan wajah yang sobek di sana – sini. Jika demikian adanya, biarkan sejarah itu mati terkubur dalam pusara zaman, karena ia tak kan pernah pantas untuk tampil di panggung peradaban yang kini. Titik kritisnya adalah, Zombie tidak memiliki kemauan sendiri sehingga selalu berada di bawah kendali sang Cenayang.

Dalam fiksi The Mummy Return, Pendeta Agung Imhotep berhasil dibangkitkan dari peti Sarkofagus setelah mantra dalam Kitab Orang Mati dibacakan. Imhotep yang mulanya berwujud belulang Mummy yang dililit tali temali kain kapan, berubah menjadi manusia utuh yang punya kendali pada dirinya sendiri dan sangat kuat melebihi ketika ia hidup pada tahun 1290 SM. Jika sejarah yang hendak dibangkitkan hari ini selengkap Imhotep, maka marilah kita bersuka ria.

Tapi dengan sedih kita harus mengakui bahwa risalah kuno yang kita baca kini adalah kepingan – kepingan parsial-subyektif yang bersimpuh pada singgasana raja - raja oleh para penyair “pelat merah” dari masa lalu. Dari sini saja sudah ketahuan bahwa sejarah hanyalah mozaik usang yang berat sebelah. Mungkin karena jelata tak layak dikenang.

Maka teks – teks sejarah tidak molek untuk diproklamirkan secara pars pro toto: sebagai sobekan – sobekan kecil untuk mewakili keseluruhan. Tapi apapun itu, manuskrip sejarah yang tersedia kini mesti diimani sebagai satu – satunya cara untuk menembus lorong waktu. Darinya lah kita memperoleh suatu perspektif masa silam.

Sejarah tidak bisa dibiarkan sendirian. Ia harus bersanding rapat dengan filsafat. Ilmu sejarah berbicara tentang kenangan – kenangan tekstual empiris – itupun jika penulisnya mampu menahan emosi untuk tidak mengontaminasi sejarah dengan imaji, mitos dan ego - sedangkan filsafat mendiktekan cara berpikir logis analitis. Kedua ilmu ini akan sangat bersinergi dalam memecahkan masalah - masalah yang bermunculan di zaman kontemporer.

Kita berharap masa lalu dapat menjelaskan atau bahkan menekankan pembenaran terhadap apa yang terjadi sekarang. Dari sejarah dapat dicari akar-akar identitas bahkan orientasi ke masa depan. Harapan ini termasuk fungsi sosial dari sejarah yakni mengorganisasi masa lalu sebagai fungsi dari masa sekarang.

Ilmu filsafat memberikan sentuhan pemikiran yang mendorong manusia untuk berpikir kritis pada setiap simpul sejarah untuk kemudian direfleksikan pada masa kini dalam konteks yang relevan. Dengan demikian manusia mampu memetik sebuah pesan up to date dalam rangka membina kehidupan manusia kekinian nan ideal.

Filsafat secara harfiah berasal dari kata philo dan sophos, philo berarti cinta dan sophos berarti ilmu atau hikmah. Jadi filsafat secara terminologis berarti cinta terhadap ilmu, hikmah atau logos. Pengertian dari teori lain menyatakan kata Arab falsafah berasal dari bahasa Yunani, philosophia: philos berarti cinta (loving), sophia berarti pengetahuan atau hikmah (wisdom), jadi Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran. Orang berfilsafat dapat dikatakan sebagai pelaku aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai titik fokusnya.

Sedangkan sejarah dari konteks Arab bermakna pohon. Kata ini memberikan gambaran pendekatan yang lebih analogis karena pertumbuhan peradaban manusia umpama pohon yang dimulai dari biji kecil menjadi rindang dan berkesinambungan. Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran atau message sejarah di dalamnya memerlukan kemampuan menerjemahkan hal – hal tersirat.

Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini perhatian lebih diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada proses penelitian tentang metode atau sarana-sarana yang digunakan seperti dalam analitis filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup yang esensial.

****

Situs Sungai Carang adalah kegembiraan warga Kepulauan Riau yang pantas dipatut – patut dan telapaknya ditelusur dengan debaran primordialistik sehingga menjadi tidak layak untuk dibantah siapapun. Ia telah setara dengan imperium Efrat dan Tigris di Mesopotamia, sungai Nil di Mesir, sungai Indus di Asia Selatan, serta sungai Kuning (Huang Ho) dan sungai Yang Tse di Tiongkok.

Peradaban kuno yang berada di kawasan sungai dianggap sebagai imperium yang kuat pada masanya, karena mereka menguasai potensi air yang diperlukan untuk membangun suatu masyarakat agraris. Sedangkan Carang adalah kombinasi keduanya. Ia membumikan budaya agraris bersempena melayarkan perniagaan maritim melintasi buana dan siapa saja kagum padanya.

Pada tiga abad lalu, oleh Sultan Abdul Jalil Syah III, Sungai Carang di Hulu Riau hendak dijadikan Kota Satelit dari Kesultanan Johor – Riau. Namun Laksmana Tun Abdul Jamil yang bertugas untuk itu mampu menghadirkan Carang melebihi ekspekstasi istana. Carang menjadi gempita sebagai labuhan antara bangsa sehingga pusat pemerintahan pun beralih ke Hulu Riau.

Seakan ingin menegaskan kembali tuah Bintan sebagai pusat kerajaan (Bentan) sebelum Dinasti Sang Sapurba ditegakkan dalam masa 300 tahun lebih awal, Carang lalu kemudian Pulau Biram Dewa berdiri sebagai puncak peradaban Melayu ketika itu.

Kini, 300 tahun setelahnya, Carang membisu dan terluka parah oleh ketamakan eksploitasi bauksit. Sedangkan risalah – risalah tentangnya telah usai ditulis dan ditulis lagi dengan cara yang hampir sama oleh siapa saja. Carang bersemayam dalam keranda zaman, kabar tentangnya menjadi urban legend yang lamat – lamat, menjadi mitos, menjadi aksioma, menjadi hikayat pengantar tidur atau menjadi gelak tawa kaum sarkas.

Sejarah acap terjebak pada kebuntuan empiris, tapi filsafat tak mungkin berhenti pada gejala permukaan. Sebaliknya filsafat menggali sedalam – dalamnya seluruh yang berada di bawah gejala permukaan itu. Penggalian dimaksud bukanlah sebatas verifikasi dan eksperimental pada ilmu sejarah, tapi mencakup seluruh aspek kehidupan di bumi mulai dari pendekatan teologis, metafisika, kosmologi dan psikologi.

Seorang local genius bernama Rida K Liamsi patut dikenang sebagai inisiator Festival Sungai Carang. Karena dari sinilah kita memulai untuk merekonstruksi Carang guna mengulang tuah dalam fase ke tiga. Sungai Carang dalam dimensi futurisme, hendaknya menjadi kegemilangan bersama secara equal opportunity jika perlu affirmative action, ketika jelata hanya menjadi anak tiri sejarah kini dapat menumpangkan hajat hidup mereka.

Mari kita berdiri pada lini masa penghancuran Carang dari peradaban Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Tanpa sentuhan filsafat yang mengkaji hukum kausalitas, maka kemungkinan besar kita hanya akan mengulang – bahkan telah memulai - penghancuran itu setelah kembali membangun replika sejarahnya dari nol besar.

Harus diakui bahwa kebanggaan di atas Carang adalah lintasan kosmik dari cerita mahkota orang – orang berdarah biru yang menjalin hubungan mesra dengan imperialisme. Tentang kerajaan yang menarik cukai dan membiarkan gurita imperialisme menindih rakyat. Perlawanan barulah terjadi ketika kolonialisme menunjukkan watak aslinya sebagai kaum penghisap yang ingkar janji.

Hingga akhir dunia, imperialisme dan neoliberalisme akan terus menancapkan kuku – kukunya sembari menghasut petinggi negeri untuk mendapat konsesi. Maka mestinya kita mengubah mindset permisif dan terlalu beramah tamah hingga lupa bahwa kita pernah terjajah. Bergesalah untuk membuang tabiat diskusi yang superfisial (dangkal), atomistik, terpilah – pilah, dan simplistik (terlalu menyederhanakan) tanpa mampu menumbuhkan pohon baru yang lebih kokoh untuk tempat bernaung semua kita.  

Jika kemudian, Carang masa depan hanya menjadi ranah tamasya ribuan yacht dari Singapura dan menjadi zona kapitalisme maritim tanpa mampu menaruh manfaat kepada hajat hidup orang banyak bahkan melakukan penyingkiran pada jelata, maka sejarah yang kita bangkitkan tentang Carang hanyalah sekelas Zombie yang kosong pikirannya lalu memangsa otak siapa saja. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun