Situs Sungai Carang adalah kegembiraan warga Kepulauan Riau yang pantas dipatut – patut dan telapaknya ditelusur dengan debaran primordialistik sehingga menjadi tidak layak untuk dibantah siapapun. Ia telah setara dengan imperium Efrat dan Tigris di Mesopotamia, sungai Nil di Mesir, sungai Indus di Asia Selatan, serta sungai Kuning (Huang Ho) dan sungai Yang Tse di Tiongkok.
Peradaban kuno yang berada di kawasan sungai dianggap sebagai imperium yang kuat pada masanya, karena mereka menguasai potensi air yang diperlukan untuk membangun suatu masyarakat agraris. Sedangkan Carang adalah kombinasi keduanya. Ia membumikan budaya agraris bersempena melayarkan perniagaan maritim melintasi buana dan siapa saja kagum padanya.
Pada tiga abad lalu, oleh Sultan Abdul Jalil Syah III, Sungai Carang di Hulu Riau hendak dijadikan Kota Satelit dari Kesultanan Johor – Riau. Namun Laksmana Tun Abdul Jamil yang bertugas untuk itu mampu menghadirkan Carang melebihi ekspekstasi istana. Carang menjadi gempita sebagai labuhan antara bangsa sehingga pusat pemerintahan pun beralih ke Hulu Riau.
Seakan ingin menegaskan kembali tuah Bintan sebagai pusat kerajaan (Bentan) sebelum Dinasti Sang Sapurba ditegakkan dalam masa 300 tahun lebih awal, Carang lalu kemudian Pulau Biram Dewa berdiri sebagai puncak peradaban Melayu ketika itu.
Kini, 300 tahun setelahnya, Carang membisu dan terluka parah oleh ketamakan eksploitasi bauksit. Sedangkan risalah – risalah tentangnya telah usai ditulis dan ditulis lagi dengan cara yang hampir sama oleh siapa saja. Carang bersemayam dalam keranda zaman, kabar tentangnya menjadi urban legend yang lamat – lamat, menjadi mitos, menjadi aksioma, menjadi hikayat pengantar tidur atau menjadi gelak tawa kaum sarkas.
Sejarah acap terjebak pada kebuntuan empiris, tapi filsafat tak mungkin berhenti pada gejala permukaan. Sebaliknya filsafat menggali sedalam – dalamnya seluruh yang berada di bawah gejala permukaan itu. Penggalian dimaksud bukanlah sebatas verifikasi dan eksperimental pada ilmu sejarah, tapi mencakup seluruh aspek kehidupan di bumi mulai dari pendekatan teologis, metafisika, kosmologi dan psikologi.
Seorang local genius bernama Rida K Liamsi patut dikenang sebagai inisiator Festival Sungai Carang. Karena dari sinilah kita memulai untuk merekonstruksi Carang guna mengulang tuah dalam fase ke tiga. Sungai Carang dalam dimensi futurisme, hendaknya menjadi kegemilangan bersama secara equal opportunity jika perlu affirmative action, ketika jelata hanya menjadi anak tiri sejarah kini dapat menumpangkan hajat hidup mereka.
Mari kita berdiri pada lini masa penghancuran Carang dari peradaban Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Tanpa sentuhan filsafat yang mengkaji hukum kausalitas, maka kemungkinan besar kita hanya akan mengulang – bahkan telah memulai - penghancuran itu setelah kembali membangun replika sejarahnya dari nol besar.
Harus diakui bahwa kebanggaan di atas Carang adalah lintasan kosmik dari cerita mahkota orang – orang berdarah biru yang menjalin hubungan mesra dengan imperialisme. Tentang kerajaan yang menarik cukai dan membiarkan gurita imperialisme menindih rakyat. Perlawanan barulah terjadi ketika kolonialisme menunjukkan watak aslinya sebagai kaum penghisap yang ingkar janji.
Hingga akhir dunia, imperialisme dan neoliberalisme akan terus menancapkan kuku – kukunya sembari menghasut petinggi negeri untuk mendapat konsesi. Maka mestinya kita mengubah mindset permisif dan terlalu beramah tamah hingga lupa bahwa kita pernah terjajah. Bergesalah untuk membuang tabiat diskusi yang superfisial (dangkal), atomistik, terpilah – pilah, dan simplistik (terlalu menyederhanakan) tanpa mampu menumbuhkan pohon baru yang lebih kokoh untuk tempat bernaung semua kita. Â
Jika kemudian, Carang masa depan hanya menjadi ranah tamasya ribuan yacht dari Singapura dan menjadi zona kapitalisme maritim tanpa mampu menaruh manfaat kepada hajat hidup orang banyak bahkan melakukan penyingkiran pada jelata, maka sejarah yang kita bangkitkan tentang Carang hanyalah sekelas Zombie yang kosong pikirannya lalu memangsa otak siapa saja. ***