Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamatkan Anak Cucu Kita dari Ancaman Bonus Demografi

14 September 2016   14:56 Diperbarui: 24 Desember 2018   08:03 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.analisadaily.com

Kapten Edward Smith dan anak buahnya tak hirau oleh peringatan tentang gunung es yang berada dalam jalur yang dilalui Titanic. Malahan, atas perintah Joseph Bruce Ismay, Direktur White Star Line, Titanic semakin mempercepat lajunya meskipun langit sedang gelap gulita.

Pada malam 14 April 1912, dua orang pengawas kapal melihat bongkahan gunung es besar persis di depan jalur Titanic dan memberitahu anjungan. First Officer William Murdoch memerintahkan kapal dibelokkan dan mesin dimundurkan, tetapi sudah terlambat, sisi kanan Titanic menabrak gunung es.

Gunung es adalah fenomena pecahan gletser yang mengagumkan dan di sisi lain juga merisaukan. Apa yang tampak sebagai tip of the iceberg lebih sering dibunyikan sebagai makna konotatif. Ada sesuatu yang besar dan berbahaya lagi tersembunyi di balik keindahannya. Kali ini gunung es itu bernama Bonus Demografi.

Bonus Demografi manis di lidah dan indah pula di telinga. Siapa yang tak riang gembira mendengar kata bonus, sebagai sesuatu yang bernilai ekonomis. Ini lips service yang paling meninabobokan dan Indonesia Raya sedang bersiap – siap menghadapinya. Empat tahun dari sekarang, tepatnya tahun 2020 akan terjadi ledakan dahsyat jumlah usia produktif di Indonesia.

Bonus Demografi adalah suatu keadaan di mana usia produktif (berkisar antara usia 15 hingga 64 tahun) mendominasi komposisi penduduk sebuah negara. Jika kita bicara tentang sosio-kultural Indonesia, bonus demografi tidaklah mengembirakan sebagaimana yang sudah dilewati oleh Jepang dan Korea Selatan. Berkaca dari fakta yang ada sekarang, Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) Indonesia masih saja rendah. Dari 187 negara di dunia, Indonesia berada di urutan 121. Jika tidak ada upaya efektif dari Pemerintah menghadapi ledakan ini, maka Bonus Demografi akan menjadi klimaks bagi Indonesia.

Diperkirakan 180 juta orang Indonesia akan saling berebutan dalam bursa kerja selama rentang waktu 10 tahun hingga tahun 2030. 180 juta adalah angka yang terus tumbuh dan ini akan menjadi tantangan terbesar bagi nasib bangsa ini ke depan, apatah lagi jika kita menambah beban itu dengan adanya isu mobilisasi pekerja asing dan keniscayaan globalisasi MEA (dengan satu fakta sakit: HDI Indonesia paling rendah dibandingkan negara - negara anggota ASEAN lainnya).

Dalam ruang terbatas ini saya ingin memaksakan untuk mengelaborasi problema ini dalam analisis SWOT (Strenght, Weaknesses, Opportunities dan Threats). Strenght (kekuatan): Indonesia adalah negara yang kaya dalam segala bentuk, lautan bagai kolam susu dan tongkat kayu jadi tanaman. Indonesia adalah zamrut khatulistiwa, primadona tropis juga lumbung logam mulia, minyak dan gas. Hitunglah nikmat Tuhan ini sampai berurai air mata. Mestinya anugerah laksana sekeping surga ini sudah lebih dari cukup untuk mengisi periuk nasi bagi 180 juta orang ditambah berkapal – kapal lainnya yang datang dari empat penjuru mata angin dunia.

Weaknesses (kelemahan): Inilah Indonesia, sebuah negara terhegemoni sejak dulu. Kekayaan alam dan sistem moneter sudah digenggam oleh konspirasi global, namun dicicipi oleh anak bangsa ini hanya berupa tetesan kecil secara trickle down effect. Lapangan kerja terus menyempit, kebijakan ekonomi yang labil, lemahnya pengendalian populasi penduduk ditambah indeks pembangunan manusia yang tidak progresif.

Opportunities (kesempatan): Seperti menatap oase di terik gurun, begitu dilantik, Presiden Jokowi tiba - tiba membahanakan kalimat bijak: kita sudah lama memunggungi samudera. Tepat sekali, selama ini warisan kultur kontinental masih melekat kuat pada bangsa ini. Agraris, agro industri dan segala dinamika ekonomi daratan bukan sesuatu yang sepele, tapi dengan melupakan potensi terpendam pada laut yang secara historikal telah memegahkan Nusantara, kita seolah sudah menjadi bangsa yang tak sadar di untung.

Visi untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu poros maritim dunia patut diapresiasi dengan banyak catatan. Budayawan dan Chairman Riau Pos Group, Rida K Liamsi dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan PWI Kepri menegaskan bahwa kebijakan ini dapat terlaksana jika pendekatan pembangunan nasional berubah haluan dari populis sentris ke potensi wilayah sentris.

Kemudian secara implisit Rida mengingatkan agar proyek poros maritim tidak menjadi kebijakan retoris-propaganga sebuah rezim, tapi ditingkatkan secara jangka panjang sebagai skema garis besar haluan negara. Dengan demikian arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang ingin kembali berkiblat pada kekuatan laut, harus menjadi solusi untuk menyerap bonus demografi yang tentunya dengan memberi stimulus pada peningkatan SDM bidang maritim.

Threats (ancaman): Poros Maritim dengan Tol Laut sebagai agenda nasional masih berupa embrio. Banyak tahapan yang harus dilewati dalam pembangunan infrastruktur dan berbagai macam lompatan kebijakan baik secara sosial, politik, kapital dan konsistensi. Meski tampak lebih masuk akal, namun pembangunan ekonomi berbasis maritim bukanlah satu – satunya cara untuk mengerkah dampak bonus demografi. Apalagi diskursus Poros Maritim tidak secara kongkret membicarakan tentang penyerapan tenaga kerja.

Bahkan untuk wilayah Kepulauan Riau, Poros Maritim mendapat cobaan berat karena menghadapi tekanan politik regional Singapura dan minimnya pendanaan dari pusat. Poros Maritim juga terancam hanya semata menjadi proyek kapitalisme global sehingga tidak mampu mendongkrak pendapatan per kapita masyarakat setempat.

Dampak bonus demografi mau tidak mau harus dihadapi bersama oleh komponen bangsa ini. Pemimpin negeri ini harus terus diingatkan, bahwa kapal besar bernama Indonesia tidak sedang menghadapi persoalan lain yang lebih besar kecuali bonus demografi. Sedikit saja terlambat kita akan karam.

Solusinya selain “terjun ke laut” adalah semua kebijakan yang dibuat harus selalu mengarah kepada peningkatan lapangan kerja dan menumbuhkan jiwa enterpreneurship, pengendalian pertumbuhan dan menekan sentralisasi usia produktif di zona urban serta peningkatan kualitas manusia Indonesia dalam segala bidang. ~MNT

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun