Kemudian secara implisit Rida mengingatkan agar proyek poros maritim tidak menjadi kebijakan retoris-propaganga sebuah rezim, tapi ditingkatkan secara jangka panjang sebagai skema garis besar haluan negara. Dengan demikian arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang ingin kembali berkiblat pada kekuatan laut, harus menjadi solusi untuk menyerap bonus demografi yang tentunya dengan memberi stimulus pada peningkatan SDM bidang maritim.
Threats (ancaman): Poros Maritim dengan Tol Laut sebagai agenda nasional masih berupa embrio. Banyak tahapan yang harus dilewati dalam pembangunan infrastruktur dan berbagai macam lompatan kebijakan baik secara sosial, politik, kapital dan konsistensi. Meski tampak lebih masuk akal, namun pembangunan ekonomi berbasis maritim bukanlah satu – satunya cara untuk mengerkah dampak bonus demografi. Apalagi diskursus Poros Maritim tidak secara kongkret membicarakan tentang penyerapan tenaga kerja.
Bahkan untuk wilayah Kepulauan Riau, Poros Maritim mendapat cobaan berat karena menghadapi tekanan politik regional Singapura dan minimnya pendanaan dari pusat. Poros Maritim juga terancam hanya semata menjadi proyek kapitalisme global sehingga tidak mampu mendongkrak pendapatan per kapita masyarakat setempat.
Dampak bonus demografi mau tidak mau harus dihadapi bersama oleh komponen bangsa ini. Pemimpin negeri ini harus terus diingatkan, bahwa kapal besar bernama Indonesia tidak sedang menghadapi persoalan lain yang lebih besar kecuali bonus demografi. Sedikit saja terlambat kita akan karam.
Solusinya selain “terjun ke laut” adalah semua kebijakan yang dibuat harus selalu mengarah kepada peningkatan lapangan kerja dan menumbuhkan jiwa enterpreneurship, pengendalian pertumbuhan dan menekan sentralisasi usia produktif di zona urban serta peningkatan kualitas manusia Indonesia dalam segala bidang. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H