****
Diaspora Indonesia berdiri pada posisi dilematis. Selalu ada alasan moral bagi mereka untuk tetap menjadi Indonesia atau bersumpah setia kepada negara lain, negara baru yang sanggup melayakkan mereka.
Jangan diktekan soal nasionalisme kepada mereka. Tanyakan saja kepada kita --katak dalam tempurung-- ini, nasionalisme macam apa yang sudah kita genggam?
Bagi kita nasionalisme itu adalah berani memarahi Malaysia, ketika warga keturunan Jawa di sana memainkan Reog Ponorogo atau mengajukan hak paten untuk batik. Nasionalisme bagi kita barulah sebatas seragam “Garuda di Dadaku” untuk sepak bola atau cabang olahraga lainnya. Tapi kita menyimpan dolar, memuja produk asing, meng-excuse neo liberalisme, membiarkan hutan dan perut bumi diisap asing. Sementara orang–orang kaya kita terus menerus memarkir uang mereka di luar negeri sehingga mesti dibujuk dengan tax amnesty.
Bagi kita, nasionalisme adalah pekik mardeka dan upacara bendera penuh hikmat menjelang detik–detik proklamasi di Istana Negara. Pesan sejarah yang selalu terselip adalah Indonesia harus bebas dari penjajahan asing dalam bentuk apapun, sedangkan faktanya, kita masih dan terus memberi akses yang besar kepada asing untuk menguasai aset vital Indonesia, membiarkan asing mendiktekan regulasi untuk kepentingan investasi mereka, serta secara konsisten dan taat menumpuk utang tak terhentikan sampai bila-bila.
Bagi kita, darah nasionalisme seketika menggelegak bila menyaksikan babu–babu kita di negeri orang disiksa majikannya. Sedangkan di sisi yang lain, fakta di depan mata adalah siksaan dalam bentuk lain jauh lebih dahsyat yang berpuncak dari kejahatan human trafficking dan bisnis raksasa narkoba yang meracuni sebagian besar generasi muda bangsa ini. Perilaku koruptif dengan mengganyang uang negara yang bisa digunakan untuk memintarkan Indonesia bahkan sudah menjadi kultur birokrasi.
Pada akhirnya nasionalisme hanya sebatas rasa absurd yang hilang dari definisi asalinya. Nasionalisme mendekap pada romantisme masa perjuangan dulu yang terbangkitkan oleh rekaman pidato Soekarno, dokumentasi historia serta lagu–lagu perjuangan. Tapi ideologi Soekarno untuk tidak memberikan kesempatan setitik pun kepada asing berpesta pora di negeri ini hanya akan selalu menjadi wacana kekaguman sejarah, tapi tidak pernah ditiru.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI