Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tanya ke Diri Sendiri Mengapa Jutaan Otak Cerdas Indonesia Mengabdi untuk Negara Asing

20 Agustus 2016   15:05 Diperbarui: 21 Agustus 2016   12:35 2261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: www.boudapestbeacon.com

****

Diaspora Indonesia berdiri pada posisi dilematis. Selalu ada alasan moral bagi mereka untuk tetap menjadi Indonesia atau bersumpah setia kepada negara lain, negara baru yang sanggup melayakkan mereka.

Jangan diktekan soal nasionalisme kepada mereka. Tanyakan saja kepada kita --katak dalam tempurung-- ini, nasionalisme macam apa yang sudah kita genggam?

Bagi kita nasionalisme itu adalah berani memarahi Malaysia, ketika warga keturunan Jawa di sana memainkan Reog Ponorogo atau mengajukan hak paten untuk batik. Nasionalisme bagi kita barulah sebatas seragam “Garuda di Dadaku” untuk sepak bola atau cabang olahraga lainnya. Tapi kita menyimpan dolar, memuja produk asing, meng-excuse neo liberalisme, membiarkan hutan dan perut bumi diisap asing. Sementara orang–orang kaya kita terus menerus memarkir uang mereka di luar negeri sehingga mesti dibujuk dengan tax amnesty.

Bagi kita, nasionalisme adalah pekik mardeka dan upacara bendera penuh hikmat menjelang detik–detik proklamasi di Istana Negara. Pesan sejarah yang selalu terselip adalah Indonesia harus bebas dari penjajahan asing dalam bentuk apapun, sedangkan faktanya, kita masih dan terus memberi akses yang besar kepada asing untuk menguasai aset vital Indonesia, membiarkan asing mendiktekan regulasi untuk kepentingan investasi mereka, serta secara konsisten dan taat menumpuk utang tak terhentikan sampai bila-bila.

Bagi kita, darah nasionalisme seketika menggelegak bila menyaksikan babu–babu kita di negeri orang disiksa majikannya. Sedangkan di sisi yang lain, fakta di depan mata adalah siksaan dalam bentuk lain jauh lebih dahsyat yang berpuncak dari kejahatan human trafficking dan bisnis raksasa narkoba yang meracuni sebagian besar generasi muda bangsa ini. Perilaku koruptif dengan mengganyang uang negara yang bisa digunakan untuk memintarkan Indonesia bahkan sudah menjadi kultur birokrasi.

Pada akhirnya nasionalisme hanya sebatas rasa absurd yang hilang dari definisi asalinya. Nasionalisme mendekap pada romantisme masa perjuangan dulu yang terbangkitkan oleh rekaman pidato Soekarno, dokumentasi historia serta lagu–lagu perjuangan. Tapi ideologi Soekarno untuk tidak memberikan kesempatan setitik pun kepada asing berpesta pora di negeri ini hanya akan selalu menjadi wacana kekaguman sejarah, tapi tidak pernah ditiru.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun