Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Manusia, Makhluk Ultra Modern Sekaligus Primitif

23 Juli 2016   10:03 Diperbarui: 25 Juli 2016   20:23 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Post Modernisme - sumber: concervativeimage.org

Globalisasi bukan perkara kemarin sore milik warga post modernitas. Jauh sebelum Theodore Levitt melentingkan istilah ini lewat Globalization of Markets (1983), umat manusia sudah mengglobal di titik nol lini masa Adam dan Hawa. Paul James menyebut, perpindahan manusia adalah bentuk dominan globalisasi paling tua. Adam dan Hawa telah berpindah dari ujung ke ujung dunia, sedangkan perpindahan yang masif dan terorganisasi mulai terekam dalam jejak globalisasi bahtera Nuh.

Bahwa kita yang hidup di abad ini merasa paling modern karena telah berendam sejak lahir dalam kancah globalisasi. Bahkan dengan tergesa-gesa kita dianggap sudah masuk ke era post modernisme, setingkat di atas modern. Dalam perspektif sosiologis, skala post modernitas umat manusia ditunjukkan pada situasi dan tata sosial, produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme hedonis, deregulasi pasar uang dan sarana publik serta semakin usangnya konsep bernegara.

Secara simbol dan fakta, benar kita sudah berada di atas modern, tapi dari konsep berpikir dalam perspektif post modernisme, sebagian besar manusia di bumi justru sangat kampungan. Post modernisme dengan post modernitas bukanlah hal yang sama.

Post modernisme tidak bisa dipaksakan. Ia adalah penantang keras kisi–kisi modernisme yang dianggap gagal, tapi kemudian ia sendiri kebingungan mencari tempat. Teori–teori yang diciptakan pada era modern yang bertebaran bagai gemintang, dalam tatanan ini, telah coba untuk dipahami sebagai indikasi atas kedewasaan berpikir spesies manusia.

Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, post modernisme adalah bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena gagal menyeragamkan teori–teori. Post modernisme- istilah yang pertama sekali muncul pada 1930 dalam bidang seni oleh Federico de Onis- biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas, bahkan sama sekali tidak ada penjelasan.

Post modernisme adalah tatanan yang utopia, mengangkasa demikian tinggi dan lebih cocok untuk didiktekan kepada malaikat penjaga pintu langit. Perdebatan panjang atas kesombongan teori-teori parsial adalah gejala kegagalan post modernisme, karena setiap teori menyediakan dirinya untuk ditolak oleh teori yang lain meski selalu punya peluang untuk menjadi paling benar. Maka debat – debat paling agung sekalipun oleh para kandidat penunggu Gedung Putih, sebenarnya sangat terbelakang dari kacamata post modernisme.

****

Donald Trump adalah sebentuk makhluk ciptaan Tuhan yang paling menggemaskan akhir–akhir ini. Di mata Islam dan Hispanik Amerika Serikat, ia bahkan dianggap sebagai teror masa depan. Trump si xenophobia narsis sekaligus rasis ini akan dipertemukan dengan wanita penyandang stigma: si pembohong kelas satu dan the most reckless woman, Hillary Clinton. Dua pilihan sulit ini akan membuat payah publik Amerika Serikat (AS) dalam general election 8 November 2016 nanti lantas media sana menyebutnya sebagai ajang pemilihan dua dedemit.

AS nyaris tidak punya pilihan ketiga, kecuali si kuda hitam betina yang sempat muncul dari Green Party. Ia adalah Jill Stein, seorang dokter, aktivis dan politikus. Secara rekam jejak, Stein dianggap lebih bersih, sayangnya ia bernaung di partai alas sepatu yang didukung para minoritas termasuk LGBT. Rakyat AS sebenarnya sedang menuju fase gagal dalam menemukan pemimpin ideal secara demokratis, meski negara ini dianggap sebagai induk semang demokrasi dunia.

Trump adalah sosok anomalis yang tak terdefenisikan. Ia hampir sepangkat dengan suku Yamomani, pribumi hutan Amazon yang mudah bertikai dengan kaum pendatang. Profesor William Liddle, pengamat politik AS–Indonesia bahkan mengaku gagal menemukan sisi baik Trump. Jika kemudian Trump melenggang ke Gedung Putih, kata Liddle, rakyat AS benar-benar sedang dalam masa sulit, sesulit hubungan Indonesia–AS nantinya.

Otak reptil Trump yang mengatur perasaan teritorial sebagai insting primitif ternyata sangat dominan, sehingga ia secara eksplisit menghendaki hanya orang Kulit Putih yang berhak atas Amerika Serikat. Jika kemudian Trump benar-benar terpilih, inilah yang disebut dengan kegagalan post modernisme bahkan dalam level modernisme sekalipun. Trump, manusia yang hidup di abad post modernitas seakan menolak globalisasi. Diperkuat dengan wacananya untuk mendongkel pasar bebas, maka Trump sangat mundur atau malah sangat maju. Inikah gejala Neo Globalisasi? Entah.

****

Keniscayaan globalisasi di era post modernitas ini adalah informasi di atas kecepatan cahaya yang terkoneksi ke telepon genggam kita. Dalam perkembangan teknologi informasi kita menjadi penikmat sekaligus korban. Emosi dan pikiran kita banyak terporsir untuk peristiwa dan wacana fenomenal atau bahkan remeh temeh, selain secara rutin menggunakan media sosial untuk berbicara kepada Tuhan, orang serumah, hewan peliharaan, tumbuhan, bayi - bayi bahkan kepada diri sendiri.

Tentang kudeta kilat yang menimpa Erdogan misalnya, kita bersicepat mem-browsing, mengambil kesimpulan instan dan petikan berita berupa temuan mentah kepada masyarakat sosial media. Insiden ini sama bisingnya dengan fenomena Pokemon Go dan isu mobilisasi 10 ribu buruh kasar dari Negeri Tirai Bambu.

Turki adalah pusat imperium lintas benua di masa Kesultanan Ottoman yang menjadi simbol kejayaan Islam di masa lampau. Kepada RC Erdogen sebagai Presiden Turki, umat Islam dunia terutama sebagian besar Indonesia menaruh ekspekstasi tinggi kepadanya untuk membersihkan kultur Turki yang hampir seabad bergelimang dosa sekulerisme dan kembali pada cahaya Islam.

Erdogan adalah seorang politisi yang tak lepas dari pro kontra. Kudeta gagal yang dilancarkan militer belum lama ini terkesan ganjil dan misterius, mestinya sudah terbaca di awal–awal. Erdogan bisa benar dan bisa salah, tapi kita yang selalu dahaga akan sosok ideal lekas–lekas menyulap fragmen dari sekeping atau beberapa keping puzzle informasi dunia maya menjadi cerita final.

Trump, Erdogan, fenomena buruh China, Britain Exit (Brexit), Greek Exit (Grexit) adalah beberapa contoh era Neo Globalisasi yakni globalisasi bentuk baru: manusia ultra modern sekaligus paling primitif. Globalisasi punya minat suci untuk memadatkan dunia dan menyatukan spesies manusia, meski proses ke arah ini dimanfaatkan oleh agen neoliberalisme untuk mencengkeram dunia.

Trump menolak globalisasi klasik, pemuja Erdogan berfantasi ke masa kejayaan Utsmaniyah yang sempat menguasai zona Trans Konstantinopel, sementara Brexit dan Grexit adalah keluarnya Inggris dan Yunani dari Uni Eropa menuju ke keterasingan kolosal. Uni Eropa, Masyarakat Ekonomi Asia (MEA), Liga Arab, AFTA dan NAFTA misalnya, adalah bentuk kecil dari pemadatan dunia dalam agenda globalisasi.

Dengan sangat berat harus dikatakan bahwa menentang mobilisasi buruh China apakah ini fiksi atau fakta, adalah gejala melawan globalisasi karena di sini perasaan teritorial sebagai insting primitif menjadi sangat dominan. Dalam kacamata post modernisme, selalu ada celah atas setiap keburukan yang kita definisikan.

Misalnya, kedatangan buruh China sebanyak itu –jika benar– mereka bukanlah agresor nomaden yang akan mengadu nasib seperti moyang kita. Mereka datang karena ditunggu oleh lapangan kerja yang sudah tersedia dan atas konsekuensi utang. Dengan upah yang didapat, tentunya mereka akan membelanjakannya di Indonesia untuk sejumlah keperluan hidup. Alih–alih membebankan, justru kita akan menangguk multiflier effect yang sangat dahsyat.

Seperti dikatakan sebelumnya, post modernisme adalah tatanan yang utopia, mengangkasa demikian tinggi dan lebih cocok untuk didiktekan kepada malaikat penjaga pintu langit. Sedangkan terminologi Neo Globalisasi dalam fenomena ini adalah frasa yang saya karang – karang untuk sekadar menghibur. Neo Globalisasi adalah sebuah majas eufemisme untuk menyebut diri kita sebagai manusia ultra modern sekaligus kampungan. Neo Globalisasi bisa saja dijelaskan dengan cara lain oleh pakarnya. 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun