****
Keniscayaan globalisasi di era post modernitas ini adalah informasi di atas kecepatan cahaya yang terkoneksi ke telepon genggam kita. Dalam perkembangan teknologi informasi kita menjadi penikmat sekaligus korban. Emosi dan pikiran kita banyak terporsir untuk peristiwa dan wacana fenomenal atau bahkan remeh temeh, selain secara rutin menggunakan media sosial untuk berbicara kepada Tuhan, orang serumah, hewan peliharaan, tumbuhan, bayi - bayi bahkan kepada diri sendiri.
Tentang kudeta kilat yang menimpa Erdogan misalnya, kita bersicepat mem-browsing, mengambil kesimpulan instan dan petikan berita berupa temuan mentah kepada masyarakat sosial media. Insiden ini sama bisingnya dengan fenomena Pokemon Go dan isu mobilisasi 10 ribu buruh kasar dari Negeri Tirai Bambu.
Turki adalah pusat imperium lintas benua di masa Kesultanan Ottoman yang menjadi simbol kejayaan Islam di masa lampau. Kepada RC Erdogen sebagai Presiden Turki, umat Islam dunia terutama sebagian besar Indonesia menaruh ekspekstasi tinggi kepadanya untuk membersihkan kultur Turki yang hampir seabad bergelimang dosa sekulerisme dan kembali pada cahaya Islam.
Erdogan adalah seorang politisi yang tak lepas dari pro kontra. Kudeta gagal yang dilancarkan militer belum lama ini terkesan ganjil dan misterius, mestinya sudah terbaca di awal–awal. Erdogan bisa benar dan bisa salah, tapi kita yang selalu dahaga akan sosok ideal lekas–lekas menyulap fragmen dari sekeping atau beberapa keping puzzle informasi dunia maya menjadi cerita final.
Trump, Erdogan, fenomena buruh China, Britain Exit (Brexit), Greek Exit (Grexit) adalah beberapa contoh era Neo Globalisasi yakni globalisasi bentuk baru: manusia ultra modern sekaligus paling primitif. Globalisasi punya minat suci untuk memadatkan dunia dan menyatukan spesies manusia, meski proses ke arah ini dimanfaatkan oleh agen neoliberalisme untuk mencengkeram dunia.
Trump menolak globalisasi klasik, pemuja Erdogan berfantasi ke masa kejayaan Utsmaniyah yang sempat menguasai zona Trans Konstantinopel, sementara Brexit dan Grexit adalah keluarnya Inggris dan Yunani dari Uni Eropa menuju ke keterasingan kolosal. Uni Eropa, Masyarakat Ekonomi Asia (MEA), Liga Arab, AFTA dan NAFTA misalnya, adalah bentuk kecil dari pemadatan dunia dalam agenda globalisasi.
Dengan sangat berat harus dikatakan bahwa menentang mobilisasi buruh China apakah ini fiksi atau fakta, adalah gejala melawan globalisasi karena di sini perasaan teritorial sebagai insting primitif menjadi sangat dominan. Dalam kacamata post modernisme, selalu ada celah atas setiap keburukan yang kita definisikan.
Misalnya, kedatangan buruh China sebanyak itu –jika benar– mereka bukanlah agresor nomaden yang akan mengadu nasib seperti moyang kita. Mereka datang karena ditunggu oleh lapangan kerja yang sudah tersedia dan atas konsekuensi utang. Dengan upah yang didapat, tentunya mereka akan membelanjakannya di Indonesia untuk sejumlah keperluan hidup. Alih–alih membebankan, justru kita akan menangguk multiflier effect yang sangat dahsyat.
Seperti dikatakan sebelumnya, post modernisme adalah tatanan yang utopia, mengangkasa demikian tinggi dan lebih cocok untuk didiktekan kepada malaikat penjaga pintu langit. Sedangkan terminologi Neo Globalisasi dalam fenomena ini adalah frasa yang saya karang – karang untuk sekadar menghibur. Neo Globalisasi adalah sebuah majas eufemisme untuk menyebut diri kita sebagai manusia ultra modern sekaligus kampungan. Neo Globalisasi bisa saja dijelaskan dengan cara lain oleh pakarnya.Â
***