Mudik tidak hanya memenuhi panggilan fitrah purbawi, tapi kemudian juga dielaborasi dengan pemenuhan hasrat untuk kebutuhan prestise yang menurut W.W. Rostow sebagai kebutuhan tingkat lanjut manusia modern. Akibatnya ratusan triliun yang diangkut dari kota ke desa terhambur begitu saja demi orang kota tampak mengkilap di mata karib sekampung.
Orang – orang dari kota yang mengkilap itu membuat penduduk kampung yang biasa duduk mencangkung di kedai kopi jatuh hati dan berangan – angan hijrah ke kota. Desa disangka tak mampu menyajikan jamuan yang cukup untuk helat hedonisme yang telah bertahun - tahun mereka khayalkan.
Urbanisasi kemudian menjadi persoalan krusial yang menganga di perkotaan. Kota – kota menjadi menggelembung dan siap meledak, sementara desa – desa semakin tampak kisut dan lunglai akibat kehabisan potensi tenaga kerja produktif yang akan menggerakkan roda pembangunan.
****
Fenomena mudik lebih tepat disebut mobilitas penduduk karena sifatnya yang sesaat. Migrasi terjadi jika kemudian para pemudik memfasilitasi sanak saudara dan orang – orang sekampungnya untuk menetap di kota pada arus balik.
Berbeda dengan ikan Salmon yang bermigrasi ke kampung halamannya untuk menetap, para pemudik melakukannya secara temporer karena tidak menemukan alasan yang cukup untuk berlama – lama di kampung.
Kebijakan politik ekonomi nasional yang menempatkan wilayah pedesaan hanya sebagai pemasok tenaga kerja murah, penyedia bahan mentah, dan pasar bagi komoditas olahan menyebabkan desa semakin tidak menarik dan menjadi kubang keterbelakangan. Lompatan absurd negara agraris ke industrialisasi yang diwariskan sejak dulu menyebabkan kepincangan berketerusan antara desa dan kota.
Kota adalah mimpi bagi siapa saja serta perpacuan antar kaum urban yang dapat menegaskan siapa di antara mereka punya prestise paling mengkilap.
Hewan tak punya kebutuhan prestise untuk ditampakkan kepada hewan lainnya. Sehingga kebutuhan akan kampung halaman dan bersenda dengan kerabat terdekat mereka akan dipuaskan selamanya hingga akhir hayat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H