Pada sepertiga malam terakhir, Tuhan turun ke langit dunia. Mengijabah doa – doa dan membentangkan rahmat pengampunan. Apatah lagi pada Ramadhan sebagai bulan pelipatgandaan dari semua pahala amal, pada berkah sahur, pada khusuk tahajud dan pada pesona tadarus - tadabur. Bersamaan dengan itu, televisi – televisi kita mengumpulkan pelawak – pelawak, mengumbar kosakata tak bermutu, bermain musik, menyiarkan sayembara dan di antara sekejap, menjejalkan pesan – pesan komersial.
Dengan sekali tekan, remote control televisi kita bisa saja menyampakkan siaran – siaran serupa itu dan segera menggantikannya dengan acara religi bermutu. Pertanyaannya, mengapa mereka selalu ada sepanjang bulan puasa? Itulah wajah televisi kita yang sebenarnya mencerminkan wajah kita. Wajah Muslim Indonesia dan hanya ada di Indonesia. Rasanya akal sehat manusia, tidak akan pernah menemukan relevansi antara waktu – waktu emas menjelang sahur dengan kemunculan badut – badut televisi. Entahlah, pada zaman logika terbalik sekarang ini, semua ada dalil pembenarannya. Mungkin seperti ini: hormatilah orang yang bertepuk tangan, yang berjoget dan yang tertawa terpingkal – pingkal pada waktu sahur, kasihan mereka butuh hiburan. Mereka kurang piknik, barangkali.
Televisi kita bertuhankan rating sebagai indikator kesukaan publik pada jenis tontonan tertentu. Di mana gula di situ semutnya. Sudah pasti acara lawak – lawak itu banyak penggemarnya menurut rating. Televisi bukan kerja – kerja sosial, mereka peraup keuntungan triliunan rupiah dari iklan – iklan sepanjang tahun. Televisi sekaligus sangat reflektif dan bertabiat paling market oriented. Programa apa yang paling sering ditonton masyarakat, itulah yang akan muncul di televisi. Karena di situ pemasang iklannya berkumpul. Jika suatu masa, misalkan rating untuk siaran religi tinggi maka di antara stasiun televisi akan berkejar – kejaran menayangkannya dengan memajang ustad paling seleb sepanjang hari.
Orang – orang dahulu berbangga. Pada zaman televisi masih berbentuk kotak kayu dan hitam putih, siaran – siaran yang muncul adalah pilihan dan sangat memperhatikan kualitas. Meski tak dapat menghindar dari celoteh Menteri Penerangan atau senyum Bapak Presiden dalam acara “Kelompencapir”, tapi masih ada Pak Tino Sidin yang mengajarkan cara melukis pada anak, ada Boneka Si Unyil dan serial Aku Cinta Indonesia (ACI) yang edukatif. Juga ada Square One Television berupa acara televisi pendidikan anak – anak yang mengajarkan matematika. Bandingkan dengan sinetron remaja kita sekarang yang seperti jemu jadi manusia lalu berimaji sebagai ikan duyung, harimau atau serigala.
Acara kuis seperti “Berpacu dalam Melodi” dibawakan dengan sangat santun oleh Koes Hendratmo atau “Gita Remaja” oleh Tantowi Yahya terlihat berkelas. Bandingkan dengan “New Famili 100” yang dipandu Tukul Arwana.
Program berita seperti “Warta Berita” terkesan sebagai penyejuk dan hanya mempublikasikan berita – berita pembangunan. Terlepas apakah itu dituduh sebagai alat propaganda Orde Baru, yang pasti berita – berita televisi pada rezim reformasi yang kita puja – puja sekarang justru liar dan artifisial.
Dengan sangat menyesal, sejak bermunculan televisi – televisi komersial yang genit, hak publik untuk memperoleh acara – acara bermutu terampas hampir tanpa sisa. Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang diharapkan konsisten untuk itu justru dipaksa untuk bertransformasi sehingga tidak sedewasa sebelumnya, agar tidak ditinggalkan pemirsa. Juga Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) tak sanggup bertahan lama dengan program – progam pendidikannya.
Bukan tidak bisa televisi kita membuat programa yang bermutu kelas dunia, bisa. Pertanyaannya siapa nantinya yang akan memasang iklan. Yang saban hari kita tonton adalah wajah mayoritas kita sendiri yang gemar tontonan ringan tak mendidik, sedangkan pihak televisi hampir tak punya beban moral untuk mengedukasi masyarakat, karena mereka terlalu sibuk untuk mengejar laba dengan memenuhi apa saja selera pemirsa.
Bahwa industri televisi sungguh menggiurkan. Dari riset yang dilansir Adstensity menunjukkan total belanja iklan televisi pernah mencapai Rp 99 triliun atau 66% dari total pendapatan iklan nasional. Nafsu untuk memburu profit justru diperparah oleh intervensi sebagian owner stasiun televisi yang terlibat politik dan kepentingan kelompok.
****
Survei Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dan sembilan Perguruan Tinggi Negeri di sembilan kota yang telah melakukan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2015, ditemukan bahwa dari 9.000 program acara televisi, nyaris semuanya berada di bawah kualitas.
Hal ini mestinya menjadi keprihatinan semua pihak mengingat televisi telah memenuhi hampir seluruh ruang privat di setiap keluarga Indonesia. Televisi mampu membentuk pola pikir dan tabiat anak bangsa, belum lagi ditambah sampah – sampah informasi dari media sosial.
Bahwa sejatinya televisi dengan hak siarnya adalah kekayaan nasional yang menumpang kepadanya hajat hidup orang banyak. Tapi kekayaan tersebut telah dicuaikan oleh output program televisi yang berantakan kualitasnya bahkan sengaja meruntuhkan derajatnya sendiri dengan misalnya menyiarkan berita pernikahan artis semacam Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, berminggu – minggu lamanya. Program infotainment pula menjadi ajang pembuka aib dan segala remeh temeh dunia selebriti. Hal ini tentu saja merusak rasa keadilan bagi warga negara yang membutuhkan siaran – siaran bermanfaat.
Seperti air, tanah, dan udara, spektrum frekuensi merupakan kekayaan sebuah bangsa. Undang - Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dalam mukadimahnya menuliskan bahwa frekuensi merupakan sumber daya terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tujuan kemakmuran rakyat itu hampir tidak ditemukan di televisi – televisi kita, yang ada justru upaya – upaya untuk menggerus kemakmuran itu dengan membentuk pola hidup konsumtif dari iklan – iklan.
Tidak semua siaran televisi buruk. Banyak juga di antaranya justru bernilai edukasi misalnya My Trip My Adventure, On the Spot, Laptop Si Unyil, Kick Andy dan Mario Teguh. Tapi kemunculan mereka tidak mendominasi keseluruhan program televisi yang ada. Siaran – siaran bermutu bahkan lebih banyak ditayangkan oleh televisi – televisi lokal.
Televisi – televisi nasional terutama yang swasta, merupakan industri padat modal dan mengandalkan omzet iklan untuk membiayai operasionalnya. Hal ini menyebabkan semua program diproduksi berdasarkan panduan rating meski lembaga konsultan pengukur rating masih monopolistik. Alasannya, lembaga inilah satu-satunya yang dipercaya pemasang iklan sebagai alat ukur.
Banyak pihak sering menyangsikan metodologi dan pengambilan sampel dari pengukuran rating ini. Contoh sederhananya sebagaimana ditulis Azmah Subagio adalah pemakaian hanya 2.000 pemirsa televisi dari 10 hingga 12 kota besar di Indonesia yang menjadi sampel. Sementara penduduk Indonesia lebih dari 250 juta jiwa, dan terdapat lebih dari 500 kabupaten dan kota dari Sabang sampai Merauke. Pengukuran semacam ini jelas tidak efektif untuk mengukur prevalensi pemirsa.
“Ketika media hanya mengejar rating dibanding memandu publik untuk meneguhkan nilai keutamaan dan budaya kerja produktif, masyarakat mudah terjebak histeria publik. Terutama isu-isu yang berdimensi sensasional,” demikian Jokowi.
Jika boleh berharap, sambil menunggu televisi berbenah sesuai standar yang ditetapkan oleh KPI, ada baiknya kita sebagai konsumen terutama yang berada di wilayah rating mulai berpikir arif bahwa siaran yang dipancarkan televisi adalah kekayaan nasional yang bersifat mewakili kepentingan khalayak. Televisi bukan semata pemuas kebutuhan akan hiburan kekanak – kanakan tak tahu waktu dan tidak mewakili martabat bangsa, apalagi pada saat – saat penting nan syahdu menjelang sahur, ketika orang – orang beriman sedang khusuk dalam qiyamul lail untuk menggapai ridho Tuhannya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H