Hal ini mestinya menjadi keprihatinan semua pihak mengingat televisi telah memenuhi hampir seluruh ruang privat di setiap keluarga Indonesia. Televisi mampu membentuk pola pikir dan tabiat anak bangsa, belum lagi ditambah sampah – sampah informasi dari media sosial.
Bahwa sejatinya televisi dengan hak siarnya adalah kekayaan nasional yang menumpang kepadanya hajat hidup orang banyak. Tapi kekayaan tersebut telah dicuaikan oleh output program televisi yang berantakan kualitasnya bahkan sengaja meruntuhkan derajatnya sendiri dengan misalnya menyiarkan berita pernikahan artis semacam Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, berminggu – minggu lamanya. Program infotainment pula menjadi ajang pembuka aib dan segala remeh temeh dunia selebriti. Hal ini tentu saja merusak rasa keadilan bagi warga negara yang membutuhkan siaran – siaran bermanfaat.
Seperti air, tanah, dan udara, spektrum frekuensi merupakan kekayaan sebuah bangsa. Undang - Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dalam mukadimahnya menuliskan bahwa frekuensi merupakan sumber daya terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tujuan kemakmuran rakyat itu hampir tidak ditemukan di televisi – televisi kita, yang ada justru upaya – upaya untuk menggerus kemakmuran itu dengan membentuk pola hidup konsumtif dari iklan – iklan.
Tidak semua siaran televisi buruk. Banyak juga di antaranya justru bernilai edukasi misalnya My Trip My Adventure, On the Spot, Laptop Si Unyil, Kick Andy dan Mario Teguh. Tapi kemunculan mereka tidak mendominasi keseluruhan program televisi yang ada. Siaran – siaran bermutu bahkan lebih banyak ditayangkan oleh televisi – televisi lokal.
Televisi – televisi nasional terutama yang swasta, merupakan industri padat modal dan mengandalkan omzet iklan untuk membiayai operasionalnya. Hal ini menyebabkan semua program diproduksi berdasarkan panduan rating meski lembaga konsultan pengukur rating masih monopolistik. Alasannya, lembaga inilah satu-satunya yang dipercaya pemasang iklan sebagai alat ukur.
Banyak pihak sering menyangsikan metodologi dan pengambilan sampel dari pengukuran rating ini. Contoh sederhananya sebagaimana ditulis Azmah Subagio adalah pemakaian hanya 2.000 pemirsa televisi dari 10 hingga 12 kota besar di Indonesia yang menjadi sampel. Sementara penduduk Indonesia lebih dari 250 juta jiwa, dan terdapat lebih dari 500 kabupaten dan kota dari Sabang sampai Merauke. Pengukuran semacam ini jelas tidak efektif untuk mengukur prevalensi pemirsa.
“Ketika media hanya mengejar rating dibanding memandu publik untuk meneguhkan nilai keutamaan dan budaya kerja produktif, masyarakat mudah terjebak histeria publik. Terutama isu-isu yang berdimensi sensasional,” demikian Jokowi.
Jika boleh berharap, sambil menunggu televisi berbenah sesuai standar yang ditetapkan oleh KPI, ada baiknya kita sebagai konsumen terutama yang berada di wilayah rating mulai berpikir arif bahwa siaran yang dipancarkan televisi adalah kekayaan nasional yang bersifat mewakili kepentingan khalayak. Televisi bukan semata pemuas kebutuhan akan hiburan kekanak – kanakan tak tahu waktu dan tidak mewakili martabat bangsa, apalagi pada saat – saat penting nan syahdu menjelang sahur, ketika orang – orang beriman sedang khusuk dalam qiyamul lail untuk menggapai ridho Tuhannya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H