****
Sayangnya orang – orang berilmu selalu tidak muncul pada tempat dan waktu yang tepat. Karena masing – masing ditutupi selubung – selubung. Setelah tamat menuntut ilmu, mereka sibuk bekerja dari pagi hingga ke petang. Meski sudah strata satu, dua dan tiga, tapi ilmu yang bisa diaplikasikan adalah sebatas yang dibutuhkan perusahaan. Hingga kemudian, sebagian besar ilmu yang diperoleh mati – matian di kampus, menguap sampai ke tua.
Orang – orang meniti ilmu untuk meningkatkan jenjang karir pribadi dan performa semata sehingga ilmunya tidak turun ke mana – mana, tidak dipakai lebih lebar. Yang menuntut ilmu di luar negeri bahkan lupa jalan pulang, ilmunya dipakai orang luar. Juga berapa banyak jenius kita yang tidak mendapat tempat di negeri sendiri sehingga memilih berkarir untuk membesarkan negara lain.
Para akademisi asyik masyuk dalam dahaga sendiri, menghisap kuntum - kuntum ilmu hingga bergelar guru besar. Ilmu – ilmu yang mereka punya lalu diturunkan kepada mahasiswa – mahasiswi sampai mendapat toga. Slogan agent of change sepertinya tidak akan banyak membuat perubahan, karena sejatinya mereka memproduksi hanya pekerja pagi ke petang yang ilmunya menguap. Pelajaran ilmu murni seperti humaniora tersia – sia begitu saja.
Orang – orang berilmu pada sebuah negara kapitalis maju - dan Indonesia menuju ke situ – mayoritas adalah economic animals yang individual dan egosentris. Mereka tidak tertarik dengan pemilihan umum dan akan dipimpin siapa negeri ini, terserah. Kecamuk politik dan segala hiruk pikuknya bagi mereka adalah sesuatu yang menganggu kenyamanan. Hal ini dapat terlihat ketika dulu betapa tidak nyamannya warga Hongkong begitu digabungkan dengan China daratan yang lebih terbelakang dan tidak stabil secara politik.
Di negeri kita sendiri Indonesia, ketidakpedulian kaum begawan kepada kerja – kerja politik menjalar dari tingkat pusat hingga ke level lokal. Orang – orang berilmu dari golongan mapan, sebagian terlihat sangat eksklusif dan selfish. Mereka kurang tertarik kegiatan sosial dan politis. Begitu dekat – dekat pemilihan presiden atau kepala daerah, yang muncul sebagai kandidat selalu itu ke itu saja. Padahal ada berjuta – juta orang berilmu yang lebih layak sebenarnya.
Kita menganut demokrasi imajiner atau seolah – olah. Sedangkan demokrasi lebih menyerupai semacam proyek dari segelintir orang yang tertarik politik. Akan menjadi keberuntungan jika yang terjun ke dunia politik adalah mereka – mereka yang berilmu sehingga setiap proses demokrasi dapat diterapkan dengan kompetisi keilmuan dan yang menjadi pemimpin kemudian adalah orang yang benar – benar berilmu, jika tidak, itu berarti musibah.
****
Filsuf Eropa Barat bernama Roger Bacon pernah berkata, falsafah Ariestoteles sebagai induk ilmu pengetahuan hingga abad pertengahan tidak dipahami dan diminati bangsa Eropa, sampai Avicenna (Ibnu Sina) dan Averroes (Ibnu Rusyid) kembali membangkitkannya. Ketika cahaya ilmu sudah menyuluh jazirah Arab enam abad lebih awal, Eropa masih berada di zaman jahiliah. Kitab Ariestoteles bersembunyi entah di mana, Plato tak dikenal, Socrates dan Ptolemeus apalagi.
Ketika zaman renaissancedimulai pada abad 15, dan senjata – senjata diproduksi, orang Eropa yang memiliki sifat penjelajah dan penjajah segera memburu rempah – rempah ke timur (Asia). Penjelajah Eropa yang tersesat di benua Amerika tidak menemukan rempah, tapi sebagai gantinya mereka mendapatkan tembakau. Benua ini kemudian dibangun dengan mengapalkan budak – budak hitam dari Afrika. Pribumi dimatikan dan sejarah diputarbalikkan.
Di Asia mereka mengirimkan delegasi dagang lalu pasukan bersenjata. Tanah koloni dihisap kekayaannya berabad – abad. Secara psikologis, bekas jajahan Eropa begitu membekas di sanubari masyarakat Asia. Begitu lepas dari kebatan imperialis, mereka bangkit mengejar ketertinggalan dengan belajar dan belajar. Kisah paling dramatis adalah Nagasaki dan Hiroshima di Jepang. Dari titik nadir dan luluh lantak ditimpa bom atom, bekas negara fasis yang ingin mendominasi Asia ini bangkit untuk mengejar ilmu dan menguasai teknologi.