Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap telah mencoreng sejarahnya sendiri dengan cara mencabut nyawa. Komunisme tidak hanya dikabarkan telah meneteskan darah dengan brutal, tapi juga ia tak henti menggelegakkan darah tua seorang Taufik Ismail. Puisi Taufik menusuk inti jantung kemanusiaan: ada partai di dunia ini yang telah membantai 120 juta orang, selama 74 tahun di 75 negara. Artinya 4.500 orang meregang nyawa tiap hari selama 74 tahun di 75 negara. Semengerikan itukah?
Sebelum peristiwa Gerakan 30 September (G30S), Taufik Ismail memang terkenal benci dengan PKI. Ia menggagas Manifesto Kebudayaan untuk menandingi seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dari sayap kiri Indonesia yang diinisiasi DN Aidit, Nyoto dan kawan – kawan. Taufik adalah saksi sejarah yang masih bernafas hingga sekarang. Paling tidak dibutuhkan seorang tua berumur minimal 70 tahun untuk dianggap dewasa dan memiliki kemerdekaan berpikir ketika peristiwa naas G30S terjadi pada 50 tahun yang lalu. Itupun jika ia intelek dan tidak berpihak.
Sebagian kita sedang di alam arwah ketika insiden itu terjadi dan sisanya adalah kanak – kanak. Apa yang paling memungkinkan kita mengenal PKI adalah cerita dari bangku sekolah dan narasi tunggal sejarah yang disediakan pemerintah selama 50 tahun terakhir. Hampir semua orang bergidik mendengar kata PKI dan dalam perspektif kanonik, kita langsung merasakan aura hitam dan bau darah dari orang – orang yang memakai kaos palu arit. Bagaimana jika lambang PKI diganti bunga bakung atau permen lolipop?
Jika kita begitu membenci yang kiri, berarti kita mungkin memihak ke yang kanan. Apa yang kanan itu, tiada lain kapitalisme. Kapitalisme adalah pemenang sejarah perebutan kekuasaan di dunia, sedang Sosialisme – Komunisme – Marxisme – Maoisme - Leninisme adalah pecundang yang diletakkan sejarah pada tikungan tajam, tercampak dari keelokan peradaban dan beraroma amis darah.
Sayap kanan kapitalisme telah masuk ke seluruh lekuk kehidupan kita, dan hampir tak mungkin ada ruang kosong tersedia untuk komunisme. Ia adalah malaikat rupawan yang memberi pekerjaan pada hari kelaparan. Ia adalah pembonceng paling agung atas kesaktian Pancasila, untuk mengeruk semua gula – gula tanah tumpah darah kita, Indonesia Raya.
Reaksi dan ketakutan yang berlebihan kepada prediksi munculnya Neo PKI hampir menjadi absurd.Kapitalisme itu adalah gigantis, ia terlalu raksasa untuk bayi kurang gizi dari reinkarnasi komunisme. Peristiwa Kaos PKI lebih menyerupai gimmickatau tipuan kecil untuk pengalihan isu besar.
Dan kita selalu ambigu, tak punya hati yang kukuh. Gagal untuk bisa melihat persoalan secara utuh, reaktif berlebihan dan menjadi pemaki paling depan di dinding sosial media. Benci mati pada PKI tapi terkagum – kagum pada tokoh intelektualnya, Tan Malaka. Tak ingin melihat wajah “buruk” komunisme tapi tenggelam penuh syahdu pada keindahan prosa Pramoedya Ananta Toer.
Jika dalam setandan pisang ada yang busuk, apakah pisang itu buruk? Tan Malaka yang punya cita – cita luhur akan negeri ini dan pencipta “Republik Indonesia” bahkan tak pernah sekalipun merasakan manisnya Indonesia. Ia hidup dalam kesukaran sepanjang hayat, berdiam di kontrakan separuh kandang kambing, diburu dari segala penjuru dan mati ditembak bangsanya sendiri.
Pram yang selalu setia membela jelata dan meraih Nobel dengan prosanya yang serupa kekuatan magis, separuh hidupnya habis dalam penjara Digul. Perhatikan golongan mana yang berkipas – kipas dan telah mereguk sampai habis kekayaan dan memikulkan hutang di bahu cucu kita sejumlah ribuan triliun.
Baik Tan maupun Pram adalah pembenci kekerasan. Jika demikian yang merusak nama PKI adalah oknum yang terinspirasi cara – cara radikal Mao Tse Tung atau Josef Stalin. Mereka menggerakkan rakyat lapar yang hilang akal karena periuk nasi mereka kosong, untuk memberontak dan membantai. Bahwa telah terjadi pembantaian balasan secara pukul rata atas PKI usai Peristiwa 65, mestinya menjadi perenungan kita sepanjang masa.
Perhatikan sejarah gerak gerik rezim kita. Setiap rezim bertumpu pada satu cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Rezim Sukarno tidak memberi tempat lebih lapang kepada pemikiran – pemikiran Islami Mohammad Natsir. Perdana Menteri religius ini mengkritik sikap Sukarno yang terkagum - kagum pada sekularisme Mustafa Kemal Attaturk. Mohammad Natsir, Perdana Menteri yang tak pernah pakai baju bagus itu kemudian menyingkir dari inner circleSukarno. Ia meneruskan hidup dalam penjara, sebagaimana juga Buya Hamka.