Keberadaan Hyde Park di London mempunyai riwayat panjang. Sejak berabad-abad lalu taman ini sudah jadi tempat orang berkumpul-kumpul dan berpidato tentang apa saja.
Meskipun Hyde Park sudah lazim jadi tempat berkumpul pada masa itu, sesungguhnya secara hukum belum ada tempat permanen bagi publik London untuk mengekspresikan diri secara bebas. Maka seiring dengan makin maraknya unjuk rasa dan kerusuhan, publik makin getol meminta adanya perlindungan hukum untuk mengeluarkan pendapat di Hyde Park. Itu sebabnya pada tahun 1872 Kerajaan Inggris memberi hak kepada otoritas taman itu untuk mengatur penggunaan Hyde Park sebagai sarana mengeluarkan pendapat asal jangan menghujat istana. Dari sana lah kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Speakers’ Corner di Hyde Park.
Hingga kini ternyata Speakers' Corner ini tidak terlalu menarik bagi orang-orang dari aliran utama (mainstream). Mereka sangat jarang memanfaatkannya. Speakers’ Corner tampaknya hanya jadi favorit bagi orang-orang yang ingin merombak kemapanan. Tercatat hanya tokoh-tokoh lagendaris seperti Karl Marx, Vladimir Lennin dan George Orwell yang selalu singgah di Sudut Pidato ini di masa hidup mereka.
Meski sempat dituding sebagai tempat serapah dan ujaran miring, kehadiran Speakers’ Corner tetap dipandang positif. Buktinya, Speakers’ Corner juga mulai dibuat di beberapa belahan dunia lainnya, semisal di Spanyol dan Kanada termasuk di Singapura.
Kendati orang-orang sering meragukan adanya demokrasi di Singapura, di negeri pulau ini ternyata dibolehkan berpidato berapi-api ala aktivis di Hyde Park. Negara itu menyediakan Speakers’ Corner yang terletak di Hong Lim Park, sebuah taman yang kecil, bila dibandingkan dengan kantor polisi yang sangat besar tak jauh dari taman itu.
Sayangnya Speakers’ Corner ini kesepian. Didirikan pada 1 September 2000, fasilitas umum ini buka mulai pukul 7 pagi hingga pukul 7 sore, sepanjang minggu. Hanya penduduk Singapura yang boleh menggunakannya. Materi orasi tidak boleh menyinggung SARA dan harus disampaikan dalam bahasa resmi Singapura. Dulunya, orang yang ingin berorasi, harus terlebih dahulu mendaftarkan diri ke kantor polisi. Namun belakangan Pemerintah setempat kemudian mengeluarkan regulasi yang menghapus keharusan tersebut.
Tapi rakyat Singapura rupanya sudah cukup puas dengan semata menjadi economic animal. Mereka terlalu sibuk sepanjang tahun dengan urusan pekerjaan, bisnis dan keluarga sehingga Speakers’ Corner berubah fungsi menjadi Sneakers’ Corner. Orang pergi ke sana bukan lagi untuk mendengar khotbah para orator-orator amatir, melainkan bermain bola atau bersenda gurau dengan teman-teman.
Bagaimana dengan Indonesia, Batam misalnya? Mengandaikan, katakanlah di Dataran Engku Puteri, Batam Center terdapat fasilitas Sudut Pidato namun dengan model yang sama sekali berbeda dengan asal usulnya. Siapapun boleh berkoar di Sudut Pidato ini, dibatasi untuk tidak menghujat atau memprovokasi. Orang - orang boleh berbicara hanya sebatas melempar ide – ide spektakuler bahkan belum pernah terpikirkan oleh siapapun.
Di Sudut Pidato ini siapa saja boleh berkhotbah tentang ide apa saja. Sangat menarik jika fasilitas ini mampu membongkar “penyamaran” para jenius bernasib malang yang kebetulan lewat. Jika selama ini mereka berbicara kepada tembok (baca: orang – orang yang otaknya tidak nyampai), mungkin saja di Sudut Pidato ini akan bertemu buku dengan ruas. Kalimat – kalimat jenius mereka didengarkan oleh jenius – jenius lainnya: yang arif, yang punya akses kepada politik dan kekuasaan. Dari sini terjadi sinkronisasi, dilanjutkan dengan kritalisasi lalu aplikasi.
Sudut Pidato juga bisa diselenggarakan secara tematik. Pengunjung Sudut Pidato diminta untuk menjadi pemecah masalah. Secara satu persatu problema krusial dilempar untuk menjadi tema pidato. Fasilitas ini juga dapat dimanfaatkan untuk menggurui. Misalnya mengajarkan tentang bagaimana menjadi birokrat yang benar, legislator yang aspiratif atau pemimpin yang bijaksana.
Di sekeliling kita terlalu banyak tembok – tembok dan sekat – sekat sehingga banyak orang – orang super yang mati kutu. Mereka tidak menemukan saluran – saluran untuk menempatkan diri mereka secara seharusnya. Apakah Sudut Pidato ini mampu memancing mereka untuk keluar dari persembunyian? Kenapa tidak. Jika Sudut Pidato ini benar – benar terwujud nantinya, maka berteriaklah di sana hai orang – orang super. ***