Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berteriaklah di Sudut Pidato!

24 Januari 2016   10:59 Diperbarui: 28 Juni 2018   12:32 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.bbc.com

Keberadaan Hyde Park di London mempunyai riwayat panjang. Sejak berabad-abad lalu taman ini sudah jadi tempat orang berkumpul-kumpul dan berpidato tentang apa saja.

Meskipun Hyde Park sudah lazim jadi tempat berkumpul pada masa itu, sesungguhnya secara hukum belum ada tempat permanen bagi publik London untuk mengekspresikan diri secara bebas. Maka seiring dengan makin maraknya unjuk rasa dan kerusuhan, publik makin getol meminta adanya perlindungan hukum untuk mengeluarkan pendapat di Hyde Park. Itu sebabnya pada tahun 1872 Kerajaan Inggris memberi hak kepada otoritas taman itu untuk mengatur penggunaan Hyde Park sebagai sarana mengeluarkan pendapat asal jangan menghujat istana. Dari sana lah kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Speakers’ Corner di Hyde Park.

Hingga kini ternyata Speakers' Corner ini tidak terlalu menarik bagi orang-orang dari aliran utama (mainstream). Mereka sangat jarang memanfaatkannya. Speakers’ Corner tampaknya hanya jadi favorit bagi orang-orang yang ingin merombak kemapanan. Tercatat hanya tokoh-tokoh lagendaris seperti Karl Marx, Vladimir Lennin dan George Orwell  yang selalu singgah di Sudut Pidato ini di masa hidup mereka.

Meski sempat dituding sebagai tempat serapah dan ujaran miring, kehadiran Speakers’ Corner tetap dipandang positif. Buktinya, Speakers’ Corner juga mulai dibuat di beberapa belahan dunia lainnya, semisal di Spanyol dan Kanada termasuk di Singapura.

Kendati orang-orang sering meragukan adanya demokrasi di Singapura, di negeri pulau ini ternyata dibolehkan berpidato berapi-api ala aktivis di Hyde Park. Negara itu menyediakan Speakers’ Corner yang terletak di Hong Lim Park, sebuah taman yang kecil, bila dibandingkan dengan kantor polisi yang sangat besar tak jauh dari taman itu.

Sayangnya Speakers’ Corner ini kesepian. Didirikan pada 1 September 2000, fasilitas umum ini buka mulai pukul 7 pagi hingga pukul 7 sore, sepanjang minggu. Hanya penduduk Singapura yang boleh menggunakannya. Materi orasi tidak boleh menyinggung SARA dan harus disampaikan dalam bahasa resmi Singapura. Dulunya, orang yang ingin berorasi, harus terlebih dahulu mendaftarkan diri ke kantor polisi. Namun belakangan Pemerintah setempat kemudian mengeluarkan regulasi yang menghapus keharusan tersebut.

Tapi rakyat Singapura rupanya sudah cukup puas dengan semata menjadi economic animal.  Mereka terlalu sibuk sepanjang tahun dengan urusan pekerjaan, bisnis dan keluarga sehingga Speakers’ Corner berubah fungsi menjadi Sneakers’ Corner. Orang pergi ke sana bukan lagi untuk mendengar khotbah para orator-orator amatir, melainkan bermain bola atau bersenda gurau dengan teman-teman.

Bagaimana dengan Indonesia, Batam misalnya? Mengandaikan, katakanlah di Dataran Engku Puteri, Batam Center terdapat fasilitas Sudut Pidato namun dengan model yang sama sekali berbeda dengan asal usulnya. Siapapun boleh berkoar di Sudut Pidato ini, dibatasi untuk tidak menghujat atau memprovokasi. Orang - orang boleh berbicara hanya sebatas melempar ide – ide spektakuler bahkan belum pernah terpikirkan oleh siapapun.

Di Sudut Pidato ini siapa saja boleh berkhotbah tentang ide apa saja. Sangat menarik jika fasilitas ini mampu membongkar “penyamaran” para jenius bernasib malang yang kebetulan lewat. Jika selama ini mereka berbicara kepada tembok (baca: orang – orang yang otaknya tidak nyampai), mungkin saja di Sudut Pidato ini akan bertemu buku dengan ruas. Kalimat – kalimat jenius mereka didengarkan oleh jenius – jenius lainnya: yang arif, yang punya akses kepada politik dan kekuasaan. Dari sini terjadi sinkronisasi, dilanjutkan dengan kritalisasi lalu aplikasi.

Sudut Pidato juga bisa diselenggarakan secara tematik. Pengunjung Sudut Pidato diminta untuk menjadi pemecah masalah. Secara satu persatu problema krusial dilempar untuk menjadi tema pidato. Fasilitas ini juga dapat dimanfaatkan untuk menggurui. Misalnya mengajarkan tentang bagaimana menjadi birokrat yang benar, legislator yang aspiratif atau pemimpin yang bijaksana.

Di sekeliling kita terlalu banyak tembok – tembok dan sekat – sekat sehingga banyak orang – orang super yang mati kutu. Mereka tidak menemukan saluran – saluran untuk menempatkan diri mereka secara seharusnya. Apakah Sudut Pidato ini mampu memancing mereka untuk keluar dari persembunyian? Kenapa tidak. Jika Sudut Pidato ini benar – benar terwujud nantinya, maka berteriaklah di sana hai orang – orang super. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun