Penegakan hukum adalah proses dalam upaya penegakan atau keberfungsian norma-norma hukum secara riil yang menjadi penuntun perilaku dalam ikhwal ketertiban dalam transportasi maupun pada sosial kemasyarakatan dan negara. Dilihat dari sudut pandang subjektif, penegakan hukum bisa dialksanakan oleh subyek yang cakupan nya universal serta bisa diartikulasikan sebagai upaya penegakan hukum itu membutuhkan keterlibatan oleh seluruh subyek hukum pada tiap relasi hukum.Sejalan dengan itu, Indonesia sebagai Negara Hukum di dalam Hukum Positif, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih memberlakukan sanksi pidana berupa Pidana mati.
Ditinjau perjalanan historis awal mula adanya opini yang pro dan kontra terhadap pidana mati, masing-masing dibekali dengan argumen yang akuntabel secara yuridis. Tokoh-tokoh pada masa lampau yang diketahui kontra terhadap adanya putusan pidana mati yaitu Beccaria, Voltaire, Marat dan Robespiere, hingga penyair Jerman Lessing, Klopstoc, Moser dan Achiller. Sedangkan tokoh-tokoh yang pro terhadap pidana mati yakni, Bichon Van Yuclmonde Ysselmonde, De Savornin Lohman, Rambonnet, Lombroso, Garovalo, serta Otto von Bismarck (Roeslan Saleh, 1978).
Peniadaan hukuman mati sudah banyak digagas oleh banyak pihak, salah satunya dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Konsepsi ICCPR sendiri mengakui adanya hak hidup setiap individu yang tidak bisa dikurangi sebagaimana tertulis pada Pasal 6 Ayat (1) ICCPR. Rumusan tersebut banyak dipakai oleh pemohon untuk mendukung pendapatnya ke Makhamah Konstitusi.
Pendapat yang paling umum dipakai ialah berbunyi “Tidaklah melarang negara-negara pihak (state parties) untuk memberlakukan pidana mati, tetapi ada pembatasan diberlakukan hanya terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut”.Berdasarkan permasalahan yang terjadi terhadap penerapan hukuman mati yang ditinjau dari hak asasi manusia dapat menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia masih harus banyak diperbaiki agar menciptakan sistem tatanan masyarakat yang madani.
Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti juga mengharapkan penting adanya edukasi terkait penerapan hukuman mati pada narapidana apabila ditinjau dari hak asasi manusia sehingga akan bermanfaat untuk kemudian hari bagi Warga Binaan dan keluarga.Pidana mati merupakan hukuman yang berat dan sudah dikenal sejak lama dan hingga sekarang masih diberlakukan di berbagai negara termasuk Indonesia. Indonesia sendiri masih mengakui sanksi pidana mati. Banyak tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana mati. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat sistem hukuman pidana mati yang dianut di Indonesia.
Dalam perspektif hak asasi manusia, pemberian hukuman mati terhadap narapidana masih menjadi perdebatan di banyak pihak. Sebagian pihak mempermasalahkan dari segi instrumen hukum, baik nasional maupun internasional yang mengatur mengenai hak asasi manusia.
Beberapa instrumen hukum yang mengakui keberadaan hak asasi manusia terutama hak untuk hidup, antara lain adalah Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, Universal Declaration of Human Rights, dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).Pada persepektif Undang-Undang Dasar 1945 secara khusus mengatur tentang hak asasi manusia dalam 3 (tiga) Pasal yakni Pasal 28A, Pasal 28I, dan Pasal 28J. Ketiga pasal tersebut meliputi:
a. Pasal 28A : Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan;
b. Pasal 28I : (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku dan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun; dan
c. Pasal 28J: (1) setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (2) Dalam menjalankan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang diterapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum.
Dalam sudut pandang Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur hak untuk hidup ke dalam 2 pasal, yaitu Pasal 4 dan Pasal 9 meliputi :
a. Pasal 4: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
b. Pasal 9: Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Dalam perspektif hak asasi manusia, sanksi pidana mati tidak bertentangan dengan instrumen hukum nasional maupun internasional, seperti Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Universal Declaration on Human Rights 1948, maupun International Covenant on Civil and Politica Rights 1966. Di dalam instrument tersebut dinyatakan bahwa hak untuk hidup dijamin namun terdapat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H