[caption caption="Ilustrasi Cinta-Sumber:www.lookbook.id"][/caption]
Ilustrasi Cinta-Sumber:www.lookbook.id
Membaca tulisan Mahaguru Pakde Kartono yang jadi highlight http://www.kompasiana.com/pakde_kartono/cinta-itu-jujur-apa-adanya-benci-dan-cinta-bedanya-tipis_55ba47a392fdfdc31bd10679 sempat menjebakku kembali untuk berselancar menyusuri dunia gundah gulana. Alunan lagu mellow sejenak mulai berayun merdu kembali memori sendu otak zaman abu-abu.
Begitu ada kata “cinta” semua orang mampu menafsirkannya, dengan kreatifitas, kelembutan, serta gorengan renyah ala penulis definisi kata. Aku sendiri tak paham arti “cinta” itu sebenarnya. Jadi menurutku, tulisan ini percuma jika anda baca, pun tak menambah pencerahan anda tentang hakikat cinta itu sendiri.
Kerabatku bilang, “Cinta itu seperti bantal di waktu subuh”, sangat nyaman. Just it! Tapi posisi “nyaman” kan juga ada batas waktunya. Jika matahari mulai bersinar, atau terlalu lama kembali bergelut dengan bantal juga akan membuat badan menjadi pegal. Artinya, cinta juga memiliki tenggat waktu atau meminjam istilah Raditya Dika, “cinta bisa kadaluarsa”. Intinya pernyataan itu memposisikan cinta sebagai obyek yang memiliki masa aktif, mirip kartu perdana yang juga jika tidak diisi ulang, akan hangus.
Jika perlu diisi ulang, maka teman pertanian saya mengistilahkan dengan “merawat”. “Tak cukup hanya memilih benih, tapi juga perlu menanam dan merawat,” katanya. Iya, benar sekali. Cinta perlu dirawat oleh kedua orang yang memiliki jalinan cinta. Agar keberadaan cinta mereka tak mudah padam.
Kembali dengan dengan nasehat Pakde “Kalo mencintai seseorang, segera katakan, jangan dipendam dalam hati. Hati manusia lebih dalam daripada palung laut seram.....”. Meskipun secara substansi keseluruhan tulisan Pakde dapat kuterima, namun kalimat pertama itu lho yang membuat gundah gulana.
Semoga aku salah.
Seperti mengambil keputusan lain, menurutku mengatakan cinta juga membawa resiko, entah postif atau negatif, dan tentu perlu tanggung jawab terhadap “risk” yang ditimbulkan. Terlebih dengan status mahasiswa yang masih ababil sepertiku. So, whats the next? Itu juga pertanyaan sulit yang perlu diistikhorohkan. Jika kita katakan, dan tak akan terjadi apa-apa, atau hanya menjadikan hati kita lega. Menurutku salah. Untuk kita, mungkin “iya”, tapi belum tentu dengan orang yang menerima ungkapan “cinta”. Artinya, kita egois, jika hanya menyatakan cinta tanpa mau bertanggung jawab dengan apa yang kita ungkapkan.
Aku tidak pernah benar-benar mengerti apa arti “cinta”, sehingga aku tak tau, apakah rasa nyaman, bahagia, senang pada seseorang itu bisa dikategorikan menjadi cinta. Apakah jika rasa itu hanya datang sesaat juga bisa disebut cinta? Jika tidak, bagaimana aku bisa menilai jika suatu hari ada rasa cinta datang? Dan oleh karena kebodohanku akan cinta, kuputuskan untuk tidak mengatakannya.
Biarlah cinta ini hanya terucap untuk Tuhan dan Rasulnya, karena rasa senang, bahagia, nyaman yang tak memiliki batas waktu hanya ada padaNya. Biarlah dengan kebodohanku, aku tak mengatakannya. Karena setauku untuk membangun pernikahan pun tak ada syarat dan rukun yang mencantumkan“cinta”.
Jika hidup penuh dengan berbagai rasa, dan rasa adalah titipan Tuhan, sudahlah aku cintai saja Tuhan, biar Dia yang mengatur rasa cinta itu datang tanpa kuucapkan.
*Berharap Pakde dapat mengajarkan lebih dalam arti cinta pada kita semua, salam hangat Pakde...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H