Iwan Simatupang merupakan sastrawan, novelis, penyair, dan esais asal Sumatera Utara. Iwan dicap sebagai bagian dari mozaik penting pemikiran sastra Indonesia. Lahir pada 18 Januari 1928 lalu berpulang pada 4 Agustus 1970 dengan meninggalkan karya-karya yang melegenda. Salah satu karyanya adalah naskah drama "Bulan Bujur Sangkar" yang memiliki makna kompleks dan merepresentasikan sebuah realita tentang kehidupan sosial.
Naskah ini secara tersirat memberikan makna yang berbeda-beda pada setiap penikmatnya. Dalam naskah ini, imajinasi para pembaca dimainkan dengan keras sehingga pemikiran tentang arti dalam setiap dialog harus dimaknai secara individu. Bertemakan ketidakpuasan manusia akan realita kehidupan, drama ini tersusun apik dengan empat tokoh yang menjadi salah satu unsur pembangunnya. Ada orang tua, anak muda, perempuan, dan gembala.
Tokoh orang tua dan anak muda terkesan antagonis karena kedua tokoh tersebut mengedepankan ego masing-masing. Terlihat dalam salah satu dialog dari orang tua yang mengatakan, "Mengapa batas yang kaucari itu, tak ingin kautemui saja pada tali ini. Ia terbuat dari tali jenis bangsawan. Dari bawah salju puncak tertinggi di dunia. Lekas! Waktu tak banyak lagi bagi kau." Pada kutipan tersebut tampak usaha orang tua agar anak muda mau memakai tiang gantung untuk mengakhiri hidupnya, semata-mata untuk memuaskan hasratnya. Dalam realita, jika dipersempit dalam kehidupan keluarga yang merupakan unit terkecil dari strata sosial, banyak sekali orang tua yang memaksakan hasratnya pada seorang anak. Entah karena orang tua tersebut tak bisa meraih citanya kala muda sehingga hal tersebut dibebankan pada anaknya, atau dengan dalih bahwa orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Padahal ada masanya orang tua harus mampu mendukung anak dalam setiap langkah terutama tentang mimpinya dan memberikan saran yang membangun bagi sang buah hati.
Tokoh anak muda juga dikatakan antagonis karena dialog berikut. "Jahanam! Alasan! Tujuan!" (Ia menyergap orang tua itu. Orang tua mengelak). Dari kutipan tersebut terlihat bahwa anak muda menunjukkan amarah terhadap perkataan orang tua. Nada tinggi yang dilampiaskan dari anak muda pada orang tua tentulah bukan hal yang dibenarkan kecuali ada suatu alasan yang membuat anak muda tersebut memecahkan amarahnya. Pasalnya di sini orang tua baru saja bertanya pada anak muda. "Mengapa? Dengan alasan apa? Dengan tujuan apa aku harus membunuh kau?" Anak muda dalam drama tersebut memiliki rasa curiga seakan orang tua ingin membunuhnya. Baru timbul spekulasi, namun amarah sudah membludak tanpa berpikir panjang dan hati-hati bahkan sampai main fisik. Realita dari adegan ini terlihat jelas dari banyaknya netizen di dunia maya yang berspekulasi akan kehidupan orang di sosial media dalam konteks negatif. Mencibir menggunakan kata-kata yang tidak sopan bahkan hingga mengenai mental para korban yang terkena cyber bullying.
Beranjak dari dua tokoh di atas, ada perempuan dan gembala yang merupakan tokoh protagonis dalam naskah drama ini. Dua tokoh ini memiliki pikiran yang rasional dan mudah ditafsir dalam pembacaan naskah. Terlihat dari dialog yang diucapkan oleh perempuan. Bunyinya seperti ini. "Ia baru saja dari sini. Baunya masih mengendap di sini. Bagaimana rupanya kini, Pak? Kuruskah? Gemukkah? Masih utuhkah tubuhnya? Belum pincang? Tuli? Buta? Adakah masih tahi lalat pada keningnya atas alis matanya sebelah kiri? Tahi lalat sebesar biji delima? Tahi lalat berwarna ungu tua, sandaran bibirku di kala rindu... Ke mana bibirku harus kusandarkan?" Kutipan tersebut menandakan bahwa Ia yang disebut oleh perempuan adalah tunangannya. Jika dipikir secara rasional, seseorang pasti akan memikirkan tunangannya. Sang tunangan dari perempuan merupakan prajurit yang melarikan diri dari pasukan musuh sehingga perempuan tersebut sangat khawatir akan nasib tunangannya begitu pula dengan nasibnya sendiri yang akan sangat merindukan sang tunangan jika tunangannya mati.
Beralih ke tokoh gembala, seorang anak kecil berumur 15 tahun dalam naskah drama tersebut. Ia memiliki pikiran rasional yang tidak ingin terlibat dengan masalah bersama dengan tokoh orang tua. Hal ini disimpulkan dari kramagung naskah pada adegan ketiga ketika orang tua bertanya padanya. "Apakah ia masih gadis? Buah dadanya! Buah dadanya!" Gembala kecil itu tak menjawab, melainkan pergi diam-diam karena ia tak mau berurusan dengan orang tua yang masih berdiri dekat dengan tiang gantung sambil berseru buah dada sang perempuan yang sudah mati. Demi keselamatannya, gembala pun pergi dan hal itu sangat rasional bila dihadirkan ke dalam realita kehidupan seperti menghindari masalah yang tak ada sangkut pautnya dengan diri sendiri. Seperti seseorang yang tak ingin terlibat dengan pertikaian sehingga lebih memilih diam bahkan menghilang dari keberadaan suatu kelompok.
Setelah menafsirkan empat tokoh dengan pembuktian dialog dan realitasnya dalam kehidupan sosial, sebenarnya masih banyak makna yang dapat ditafsir lalu ditemukan hubungannya dengan kehidupan masa kini yang berkaitan erat dengan permasalahan sosial. Dalam dunia nyata, kejahatan tumbuh karena adanya ketimpangan sosial, masalah birokrasi yang bersifat hierarki, sistem politik yang saling menjatuhkan, hingga kejahatan seksual, dan juga kejahatan agama dengan mengatasnamakan nama Tuhan dalam berbuat sesuatu yang tidak baik atau bertentangan dengan norma agama. Semua masalah tersebut dapat dibuktikan lewat dialog yang tercantum rapi pada naskah drama ini.
Dalam adegan pertama, naskah difokuskan pada perseteruan antara orang tua dan anak muda. Terlihat jelas watak egois dan sifat orang tua yang sombong hingga memutarbalikan pertanyaan pada anak muda. "Tentu saja aku tak ingin menyamakan diri dengan mereka... Ya, aku seniman. Seniman besar." Ditambah dengan kutipan berikut. "Ha ha ha. Apakah anak hendak meyakinkan aku? Tampang kau dengan rambut panjang begini... Bukankah ini tampang seorang anarkis?" Orang tua terkesan berbesar kepala di depan anak muda. Hal ini terjadi dalam kehidupan nyata di mana orang yang lebih tua merasa bahwa dirinya lebih berkuasa karena sudah makan banyak asam garam dalam kehidupan. Anak muda kerap diremehkan karena pengalaman yang masih sedikit dan umur yang bisa dikatakan belum mumpuni untuk melakukan suatu hal besar yang tak sesuai dengan pola pikir orang tua.
Masih dalam adegan yang pertama, orang tua berkata dalam dialognya. "Kau telah mengatakan setepatnya Fungsi! Apakah mesti sama arti fungsi dengan mencipta perbedaan antara sesama manusia? Yang menghukum lawan yang dihukum, yang menggantung lawan yang digantung." Kutipan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa siapa yang punya kuasa, siapa yang memiliki relasi, dialah yang dipandang. Fungsi dari kuasa tersebut telah menciptakan perbedaan antara sesama manusia dan dapat terhubung dengan kalimat "Hukum di Indonesia tumupul ke atas dan tajam ke bawah."
Dalam dialognya orang tua kembali berkata tentang suatu hal yang dapat dikaitkan dengan manusia yang menjadi warga negara. Begini bunyinya. "Mengapa? Karena aku tak dapat meyakini citamu yang mencari batas di tempat persembunyiannya, di keterasingan tingginya pegunungan? Tidak, nak... Pada hakikatnya kau adalah penganut batas juga. Penganut tata tertib, tata krama."
Sebagai warga negara, meski tahu ada yang tidak benar dengan pemerintahan yang terjadi, rakyat sipil tetaplah warga yang harus mengikuti aturan. Ada batasan jikalau warga ingin melakukan unjuk rasa. Tidak bisa langsung diselesaikan sedemikian rupa. Contohnya adalah RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang merupakan suatu hal kontroversial. Banyak warga yang ingin RKUHP ini cepat diresmikan, namun dari bagian atas seperti menunda karena banyak pertimbangan atau hal lain yang tidak bisa warga sipil ketahui.