Peristiwa penganiayaan yang dialami Pakar IT ITB, Hermansyah menjadi alarm bagi demokrasi dan keamanan masyarakat. Akademisi yang biasanya jarang bersentuhan dengan dunia premanisme menjadi korban penganiayaan. Tidak tanggung-tanggung, calon saksi kasus yang menjerat Habib Rizieq Shihab (HRS) tersebut dianiaya menggunakan senjata tajam dan dilakukan beberapa orang.
Pernyataan pihak kepolisian berbeda dengan yang disampaikan pihak keluarga. Jika polisi menyebut penganiayaan bermula dari senggolan di jalan tol, sementara keluarga menyebut mobil korban dipepet lalu dikeroyok.
Kejadian yang menimpa Hermansyah ini menambah rentetan peristiwa teror yang terjadi. Sebelumnya, penyidik KPK Novel Baswedan disiram air keras, dan kasus ini belum juga tuntas walau telah beberapa bulan ditangani pihak kepolisian.
Dua kejadian ini menjadi pertanda kalau orang-orang yang berani bicara akan mendapatkan teror. Novel disiram saat dirinya sedang menangani kasus mega korupsi. Sedangkan Hermansyah dianiaya setelah dirinya menyampaikan perbedaan pandangan terkait dengan chat HRS dan Firza Husein.
Keberanian Novel mengungkap kasus besar tentu akan membahayakan para koruptor. Tidak tertutup kemungkinan mantan perwira polisi tersebut diserang oleh orang yang terkait dengan kasus korupsi. Pesan yang ingin disampaikan melalui teror terhadap Novel adalah jangan berani sentuh orang itu atau kelompoknya, jika tetap nekad maka akan mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan.
Lalu bagaimana dengan Hermansyah. Apa yang membuat dirinya menjadi korban dari kebrutalan sekelompok orang, dan apakah ada kaitan dengan SMS ancaman yang dia terima sebelum kejadian, atau kaitan dengan ucapannya terkait kasus HRS?.
Jika merunut dari apa yang disampaikan Hermansyah terkait dengan HRS, maka sosok pakar IT berbeda pandangan dengan beberapa orang. Hermansyah menyebut chat yang menjadikan HRS sebagai tersangka itu adalah palsu atau diedit. Dengan status sebagai pakar IT, tentu keahlian dia dapat meloloskan HRS dari kasus yang menjeratnya.
HRS seperti yang kita ketahui merupakan sosok nekad dan terdepan dalam mengkritik pemerintah, dan termasuk satu dari sekian banyak tokoh yang menggalang aksi bela Islam. Dalam dua tahun ini, HRS telah berulangkali dilaporkan ke polisi, mulai dari kasus penghinaan pancasila hingga chat porno. Kasus terakhir ini membuat HRS menjadi tersangka.
Bikin Takut Bicara Kritis
Jika kasus Novel dan Hermansyah tidak tuntas, masyarakat akan merasa terancam. Karena dua kasus tersebut sangat nyata membahayakan bagi upaya pemberantasan korupsi dan keamanan dalam menyampaikan pendapat.
Bayangkan saja, penegak hukum seperti Novel saja bisa diteror begitu. Apalagi hanya sebagai pengiat anti korupsi, atau masyarakat yang benci dengan korupsi. Begitu juga dengan Hermansyah, jika kasusnya tidak terungkap maka akan muncul persepsi kalau dia dianiaya karena tidak senang dengan komentarnya.
Rabu dini hari (12/7/2017), polisi menangkap dua pria yang diduga terlibat penganiayaan terhadap pakar telematika ITB, Hermansyah. Penangkapan itu berlangsung di kawasan Sawangan, Depok, saat mereka kembali dari Bandung.
Dengan tertangkapnya dua terduga tersebut, bisa membuka misteri dari aksi pengeroyokan tersebut. Apakah ada kaitan antara pernyataan hermansyah dengan aksi bejat itu, atau ada perkara lain?.
Sebelum aksi teror seperti ini, beberapa orang aktifis yang suka mengkritik penguasa telah terlebih dahulu menjadi tersangka. Sri Bintang Pamungkas cs ditangkap karena dianggap makar, namun kasus ini sampai sekarang belum jelas kelanjutanya.
Sudah lebih dari setengah tahun, berkas tersangka makar belum juga masuk ke pengadilan. Padahal sejak awal polisi menyatakan sudah punya bukti kuat. Tapi entah kenapa sekarang seperti kesulitan untuk mendapatkan cukup bukti.
Dengan ditangkapnya para tokoh nasionalis dan ditambah lagi ada dari kalangan ulama, maka dapat menimbulkan ketakutan bagi orang yang mengkritik penguasa. Karena kebetulan tersangka dugaan makar terkenal kritis terhadap penguasa, meski rata-rata umur mereka tidak muda lagi, tapi mereka dituding sanggup menjatuhkan penguasa.
Apakah memang mereka terbukti akan berbuat makar, atau hanya kabar pertakut bagi para pengkritik?. Kapolri harus menjelaskan duduk perkara ini, apakah kasus ini layak atau tidak. Jokowi juga harus memanggil Kapolri, karena akibat perbuatan anak buah Kapolri tersebut, muncul persepsi kalau Jokowi membungkam para pengkritik. Kecuali polisi memang mendapatkan tugas untuk itu, kita juga tidak mengetahui kebenarannya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H