Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penguatan Karakter Berbasis Pengalaman Siswa

4 Januari 2024   21:20 Diperbarui: 4 Januari 2024   21:23 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Pixabay/Aditio Tantra Danang Wisnu Wardhana

Penguatan karakter sebagai tujuan pendidikan nasional masih menghadapi tantangan serius. Diperlukan terobosan baru dan berani untuk menempatkan siswa sebagi pusat pembelajaran, dan transformasi peran guru yang tak hanya mengajar.

***

Kurikulum Merdeka merupakan terobosan dalam penguatan karakter. Misalnya, dalam pembelajaran berbasis proyek yang diwujudkan dalam Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).

Prinsip ini selaras dengan konsep Pendidikan Kewarganegaraan Global (PKG) UNESCO yang membagi tiga domain pembelajaran, kognitif---pengetahuan dan keterampilan, sosio-emosional---nilai, sikap dan keterampilan sosial, dan perilaku---tingkah laku, dan kinerja.

Namun, praktik P5 masih menunjukkan siswa berjarak dengan realitas sosial. Pengetahuan dan keterampilan masih bersumber dari buku ajar. Penciptaan karya dalam panen pembelajaran, bukan dari kepedulian, ketertarikan, dan kegelisahan siswa.

Menggeser Paradigma

Ceruk masalah Kurikulum Merdeka dalam penguatan karakter semakin melebar, karena secara paradgimatik masih menyesuaikan capaian pembelajaran dengan kepentingan pasar-industri, pendidikan berdasarkan permintaan pasar (demand-driven).

Pendidikan semacam ini berujung pada penempatan siswa sebagai obyek pembelajaran. Pendidikan menyiapkan tenaga kerja agar siap masuk dunia industri-kapitalis. Siswa diproyeksikan sebagai pekerja siap pakai. Menjadikan negeri ini sebagai penyuplai tenaga kerja, bukan penyedia para pembuat, para kreator berbagai lapangan kehidupan.

Merdeka Belajar terjebak pada slogan, menggambarkan siswa belajar dengan merdeka, bebas menentukan subyek belajarnya. Padahal tak mempedulikan kebutuhan dan kepentingan siswa. Mereka tidak memiliki kesempatan mengenali lingkungannya, memahami persoalan dan potensi masyarakat.

Siswa tak mendapat kesempatan memahami kenapa sungai keruh, Jakarta dilanda polusi udara. Siswa tak bisa memahami jenis pohon yang menghilang, dan ragam obat-obatan dari tanaman di tempat tinggalnya. Mereka tak tertarik memikirkan langkanya bakul jamu gendong.

Siswa tercerabut dari akar budayanya. Pembelajaran tak mampu menumbuhkan kesadaran bertindak, dan meningkatkan pengetahuan yang bermakna bagi kehidupan. Mereka tak memiliki kepedulian terhadap kerusakan lingkungan, tak memahami kemiskinan akut di sekitarnya.

Ada contoh baik berjaraknya pembelajaran dengan sikap dan perilaku dalam kehidupan keseharian. Saat pembelajaran, misalnya, pohon memerlukan air untuk tumbuh. Namun, saat siswa di rumah mendapati tanaman layu, tidak tergerak menyiraminya.

Dengan demikian, praktik pendidikan harus menggeser paradigmanya, dari melayani kepentingan pasar-industri ke kebutuhan dan kepentingan anak. Inilah pendidikan yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara, menuntun anak mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan setinggi-tingginya.

Seni Pedagogis

Awal bulan Agustus 2023, ada perhelatan menarik bertajuk "Residensi Seni Pedagogis" di Samigaluh, Kulonprogo. Kegiatan ini meneguhkan pedagogis sebagai praktik pembelajaran yang menyenangkan dalam menguatkan karakter siswa.

Dalam seni pedagogis, pembelajaran melalui beberapa tahapan. Pertama, melakukan refleksi diri mengenai ketertarikan, kegelisahan, kepedulian siswa, dan mengaitkan dengan problem lingkungannya. Siswa merumuskan subyek pembelajarannya.

Kedua, melakukan riset (observasi dan wawancara). Guru tak lagi menjadi sumber pengetahuan tunggal, siswa bisa bertemu sumber pengetahuan lain untuk mendiskusikan pengetahuan subyek belajarnya.

Ketiga, menemukan ide karya, dan memproduksi pengetahuan baru berdasarkan hasil kulikannya. Guru bertranformasi menjadi fasilitator, mentor, coach, dan konselor.

Kelima, mengartikulasikan ide karya kedalam seni; misalnya, puisi, lagu, lukisan, video, cerita foto, karya fisik. Pilihan ini bukan saran guru, melainkan kolaborasi guru dan siswa selama proses pembelajaran.

Keenam, memamerkan hasil karya, mempresentasikan proses pembelajaran. Komunitas seni sebagai art colaborator bersama-sama siswa menata (display) karya siswa.

Model dan rangkaian pembelajaran seperti ini yang akan mampu menumbuhkan karakter siswa berdasarkan pengalaman mereka sendiri. Menguatkan karakter siswa melalui perjumpaan dengan realitas sosialnya. Siswa memiliki kepedulian terhadap masalah sosial, dan memotivasi dirinya untuk mewujudkan potensi-potensi yang ada di lingkungan sekitarnya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun