Konteks Indonesia
Secara global menurut perkiraan Badan Kesehatan Dunia (WHO) orang dengan disabilitas mencapai angka 1,3 Miliar orang. Sedangkan dalam konteks Indonesia, menurut data dari Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, jumlah penyandang disabilitas mencapai 22,5 juta atau sekitar lima persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Tetapi hak asasi manusia itu bukanlah soal jumlah, melainkan soal bagaimana negara-negara bertanggung jawab terhadap pemenuhannya tanpa memandang latar belakang apapun. Setiap penyandang disabilitas memiliki hak penuh sebagai manusia, mereka tidak boleh mengalami diskriminasi, stigmatisasi, pengecilan, apalagi menghadapi tindakan tidak manusiawi lainnya, seperti pemasungan.
Melawan berbagai tindakan yang melanggar hak asasi manusia, menurut Miko---panggilan akrab Ayatulloh Ruhullah Khomaini, Program Manager Yayasan SAPADA Yogyakarta, penyandang disabilitas terus bergerak melakukan advokasi hak penyandang disabilitas. "Dari perencanaan penganggaran Pusat, Daerah, dan Peraturan Perundang-undangan sampai pada layanan publik dan penanganan kekerasan," katanya.
Miko juga mengatakan, dalam gerakannya itu, organisasi disabilitas telah berhasil mengusung beragam perubahan kebijakan, terutama UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Tak berhenti sampai di sini, mereka terus melakukan advokasi untuk terbitnya regulasi teknisnya, seperti Peraturan Pemerintah. Penyandang disabilitas juga  melakukan kampanye publik tentang aksesibilitas, informasi dan layanan publik, bahkan menginisiasi unit layanan disabilitas di beberapa sektor, misalnya, unit layanan disabilitas di bidang pendidikan dan ketenagakerjaan.
"Dengan gerakan itu, saat ini sudah disahkan Komisi Nasional Disabilitas, sebagai amanah UU. Dan daerah, semua itu dapat dianggap sebagai capaian atau setidaknya milestone implementasi hak penyandang disabilitas di Indonesia," ujarnya.
Keberhasilan yang lain, juga bisa terpilihnya perwakilan atau representasi penyandang disabilitas sebagai anggota Komisi Nasional (Komnas) HAM dan Komnas Perempuan., bagi Miko merupakan  wujud dari penerimaan disabilitas dalam institusi publik di Indonesia.
Meski begitu, bukan berarti tanpa tantangan. Masih banyak tantangan yang muncul di masa depan. Misalnya, dalam proses implementasi teknis dari regulasi, penyandang disabilitas ditantang untuk bisa memberikan contoh nyata yang diberikan organisasi disabilitas. Sebut, bagaimana sebenarnya pemberdayaan atau pendidikan terbaik bagi penyandang disabilitas yang ideal, bagaimana penanganan yang terbaik ketika seorang penyandang disabilitas mengalami kekerasan dengan tetap menempatkan penyandang disabilitas sebagai manusia yang bermartabat.
Tantangan lainnya, bagaimana representasi penyandang disabilitas di ruang publik mampu mengokohkan kondisi teman-teman sebagai pribadi yang positif, mandiri, dan mempunyai prestasi terbaik. "Mereka akan mampu menghilangkan stigma pada penyandang disabilitas yang selama ini ada," katanya.
Para figur yang mandiri, positif dan berprestasi dalam ruang publik, kata Miko, mereka harus bisa mendorong teman-teman disabilitas muda yang sudah bisa keluar dari berbagai stigma dengan disabilitasnya untuk bisa juga mandiri, dan masuk ke ruang publik.
"Semua melakukan kerja sama untuk membangun Inklusif Disabilitas, dan menciptakan ruang-ruang diskusi dan dialog yang terbuka untuk semakin memperkaya kapasitas figur publik disabilitas dan teman-teman disabilitas yang lain," pungkasnya.