Semua pihak bertanggung jawab melindungi perempuan dari segala bentuk bahaya kekerasan atas nama agama, terutama negara dalam berbagai tingkat otoritasnya, lembaga keagamaan, lembaga sosial, dunia usaha, masyarakat sipil, keluarga dan media.
Fatwa kedua mengenai pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan. Menurut KUPI II hukum pembiaran kerusakan lingkungan hidup akibat polusi sampah terbagi menjadi tiga bagian, haram bagi mubasyir (pelaku langsung) atau eksekutor mutasabbib (penyebab tidak langsung), makruh tahrim (makruh yang mendekati haram) bagi orang yang tidak mempunyai wewenang.
Dengan demikian, wajib hukumnya bagi wajib bagi ulul amri dan para pemegang kebijakan dengan semua fasilitas yang dimiliki ulul amri membangun infrastruktur politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung pengelolaan sampah untuk keberlangsungan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan.
Kewajiban itu bersifat mukhayyar (kewajiban yang tergantung objek hukumnya) tidak muhaddad (kewajiban yang harus sesuai dengan ketentuan). Jadi, ulul amri wajib membangun infrastruktur sesuai dengan kadar kapasitas kewenangan dan dampak sampah yang dihasilkan.
Dengan begitu, semua pihak wajib mengelola sampah sesuai kemampuan dan kapasitas masing-masing. Terutama pemerintah wajib membangun kesadaran warga akan bahaya sampah dan memberikan edukasi pengelolaan sampah yang paling sederhana.
Dalam fatwa ketiganya, KUPI II mengangkat mengenai perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan. Wajib hukumnya bagi negara, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, masyarakat, dan orang tua  melakukan perlindungan terhadap perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan.
Alasannya, pemaksaan perkawinan terhadap perempuan tidak hanya berdampak secara fisik dan psikis, mental, tetapi juga sosial, ekonomi, politik dan hukum. Negara dan semua pihak yang terkait wajib melakukan penanganan dengan upaya yang cepat dan tepat untuk meminimalisir, dan menghapuskan segala bahaya akibat pemaksaan perkawinan terhadap perempuan.
Dengan begitu, hukumnya adalah wajib membuat peraturan perundangan yang menjamin hak-hak korban, pemulihan yang berkelanjutan dan sangsi pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan pada perempuan.
KUPI II mengeluarkan fatwa keempat mengenai perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan. Hukum melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah wajib di usia berapa pun kehamilannya, baik dengan cara melanjutkan atau menghentikan kehamilan, sesuai dengan pertimbangan darurat medis dan/atau psikiatris.
Semua pihak, memiliki tanggung jawab melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan, terutama diri sendiri, orang tua, keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat dan adat, tenaga medis, tenaga psikiatris, dan Negara. Pelaku haru memiliki tanggung jawab melindungi jiwa korban dengan cara tidak semakin menambah dampak buruk (mafsadat) bagi korban.
Sedangkan hukumnya haram bagi pihak-pihak yang mempunyai tanggung jawab dan kemampuan namun tidak melakukan perlindungan pada jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan.