Aku sedang memungut luka saat engkau mengabarkan tentang ledakan yang membauri udara, mengurapi begitu dalam pada setiap garis urat, tentang sakit, pedih, dan air mata
Aku lambaikan tangan ke arah langit yang membiru, tetapi kulihat ada mata tajam tak berkedip di sela-sela awan, tidak hitam, tetapi tak juga kelabu
Nyawa yang berbaris di kaki langit itu, sudah sering didengar pada negeri usang ini, sudah banyak terkabarkan dari setiap lempengan yang berhimpitan, tetapi air mata ini tetap saja mengalir, mengering, membeku berbias merah darah
Aku bersimpuh di tanah yang juga terasa rapuh, Â larik rintihan, dan mungkin doa yang begitu lemah mengalir dari bibir kering membeku, ada seruan syahidlah semuanya, tak perlu kafan, tak perlu dimandikan, sejuk semerbak terasa dari alammi, menanti datangnya mahsyar, dan tak ada rintang menuju surganya dalam sekedip mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H