Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Strategi Menghapus Pelecehan Seksual di Transportasi Umum

6 November 2022   13:15 Diperbarui: 8 November 2022   16:15 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korban pelecehan seksual di transportasi publik tak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Mereka mengalami trauma, dan membutuhkan konseling psikologis. Sementara imbauan untuk segera mengadukan saat mengalami kekerasan, tak dibarengi dengan penjelasan bagaimana penyelenggara transportasi umum itu akan menangani aduannya.

Pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk dari 15 bentuk kekerasan seksual sebagaimana Komnas Perempuan mendefinisikannya. Pelecehan seksual dipahami sebagai bentuk tindakan seksual secara sentuhan fisik dan non-fisik dengan sasaran organ seksual dan seksualitas korban.

Misalnya, siulan, ucapan seksual, mempertunjukkan pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan dan isyarat yang bersifat seksual.

Semua tindakan itu menyebabkan rasa tidak nyaman bagi korban, merasa direndahkan harkat dan martabatnya, dan bisa menimbulkan gangguan kesehatan, seperti traumatik sepanjang hidupnya. 

Dari Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak menunjukkan, pada Semester I 2022 (Januari-Juli 2022) terjadi kasus pelecehan seksual di fasilitas umum, termasuk transportasi umum sebanyak 213 kasus.

Jumlah ini tentu saja cukup besar dan membutuhkan penanganan serius bagi penyelenggara layanan transportasi umum. Sebab, mereka memiliki kewajiban melindungi para konsumennya dari berbagai ancaman kekerasan fisik, non-fisik, kekerasan seksual.

Sementara itu konsumen berhak atas layanan yang aman, nyaman, dan terbebas dari berbagai tindakan merendahkan martabat dan harkatnya sebagai manusia.

Strategi

Pemerintah dan penyelenggara transportasi mesti membuat sistem keamanan yang berlapis dan menegakkan hukum secara tegas kepada pelaku, sehingga bisa menghapuskan tindak pelecehan seksual.

Sistem keamanan tersebut mencakup empat tahapan yang tak terpisahkan satu dengan lainnya: pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan.

Pada ranah pencegahan, pemerintah dan penyelenggara transportasi secara terus menerus melakukan kampanye pencegahan dengan memberikan peringatan kepada publik. Kampanye ini bisa dalam berbagai bentuk media, seperti poster, running teks, video, dan voice.

Di setiap pintu masuk (atau tempat pembelian tiket) dan ketika hendak keluar kereta selalu diingatkan tentang ancaman bagi pelaku pelecehan seksual.

Seperti juga peringatan di pesawat terbang bagi mereka yang membawa narkotika dan zat terlarang lainnya. Dan menghimbau kepada mereka yang mengetahui terjadinya kasus pelecehan seksual untuk segera melaporkan kepada petugas, tak hanya menyaksikan dan mendiamkannya.

Secara teknis, di setiap sudut gerbong dipasang kamera CCTV agar bisa mereka seluruh gerak-gerik penjahat kemanusiaan. Setidaknya, dengan terpasangnya kamera CCTV ini akan bisa memberikan peringatan dini kepada pelaku, dan pihak keamanan yang mengawal perjalanan transportasi umum bisa segera bertindak.

Masih dalam tahapan pencegahan, penyelenggara trabsportasi umum bisa menyediakan informasi secara jelas mengenai alur dan penanganan pengaduan tindakan pelecehan seksual. Bila perlu digambarkan melalui video, di mana tempat laporan, siapa yang akan menangani, dan berapa lama korban akan mendapatkan informasi mengenai penanganan laporannya.

Dalam tahap penanganan, pihak penyelenggara transportasi melakukan pelaporan kepada pihak keamanan sehingga polisi akan bisa segera bertindak dan mengangani kasusnya.

Selaian bantuan hukum kepada korban selama penanganan kasus di ranah hukum, pada saat bersamaan juga sudah diberikan layanan konseling ketika korban menyatakan membutuhkan layanan itu. Termasuk dalam penanganan ini, semua pihak harus terus menjaga kerahasiaan korban.

Sebab, salah satu faktor yang sering menjadikan korban takut melapor, selain ancaman dari pelaku, adalah ketakutan kasusnya tersebar ke publik, dan akan menimbulkan masalah turunan lainnya.

Tetapi perlu diingat dalam penanganan pengaduan kasus pelecehan seksual ini pada prinsipnya berbasis kepada keinginan korban, apakah ia hendak melanjutkan ke ranah hukum atau hanya sekadar ingin pemanggilan pihak penyelenggara transportasi dan memberikan peringatan.

Tahap selanjutnya perlindungan terhadap korban. Selama proses penanganan hukum kasus pelecehan seksual, korban harus mendapatkan perlindungan secara penuh. Misalnya, identitasnya harus dijaga ketat kerahasiaannya, termasuk kemungkinan beredarnya foto dan video korban.

Termasuk bagian dari perlindungan, penyelenggara menyediakan rumah aman, manakala korban benar-benar merasa khawatir atau takut dengan kemungkinan terjadinya kekerasan fisik dari pihak pelaku. 

Tahap akhir dari penanganan korban pelecehan seksual adalah melakukan pemulihan. Pada tahap ini, selain pemulihan psikologis menghilangkan trauma yang dialami korban, juga melakukan pemulihan ekonomi.

Sebab, ketika kasus ini terkuak, apalagi masuk ke dalam ranah pengadilan, dan sangat mungkin menjadi konsumsi media, korban tak lagi nyaman berada di lingkungan kerja. Sehingga pemerintah berkewajiban memberikan alternatif tempat kerja atau peluang usaha baru.

Sedang dari sisi petugas yang menangani kasus-kasus pelecehan seksual sudah dipastikan mereka adalah orang-orang yang memiliki perspektif dan sensitifitas gender.

Sehingga dalam memberikan layanan kepada korban sudah memiliki empati yang tinggi, dan tidak melakukan kekerasan dalam bentuk verbal maupun gerak dan isyarat yang membuat korban justru menjadi tak nyaman.

Para petugas ini sebaiknya mendapatkan pelatihan khusus mengenai sensitifitas gender, penghapusan kekerasan seksual, dan keterampilan dasar konseling.

Melalui tahapan yang komprehensif ini, bisa dimungkinkan kasus-kasus pelecehan seksual di transportasi umum bisa terus menerun sampai pada level zero tolerance.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun