Indonesia masih terus diterpa berbagai isu kesehatan pada hari-hari terakhir ini. Misalnya, masalah ginjal akut pada anak-anak sebagai dampak dari konsumsi obat, dan merebaknya isu residu pestisida pada mie instan.
Pada saat yang sama, Indonesia masih berada dalam ancaman Covid-19 yang memang belum selesai. Dengan tingkat partisipasi vaksinasi yang terus menerus, dan kaepatuhan penerapan protokol kesehatan yang juga semakin melemah.
Belum lagi persoalan lama yang masih terus menjadi pekerjaan rumah bangsa ini, mengenai Angka Kematian Ibu (AKI) yang masih tinggi, tak juga hendak turun. Misalnya, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia tercatat masih di angka 305 per 100,000 kelahiran hidup. Angka ini jauh di atas dari target nasional yang berada di angka 183 per 100,000 kelahiran hidup yang harus dicapai pada tahun 2024.
Di tengah ragam isu kesehatan yang lain di negeri, pada hari ini, tanggal 24 Oktober, para dokter merayakan peringatan Hari Dokter Nasional. Ini bisa menjadi momentum melakukan berbagai refleksi dalam menjalankan perannya sebagai garda depan peningkatan kesehatan warga bangsa.
Mengambil tema "Berbakti untuk Negeri, Mengabdi untuk Rakyat, Satu IDI Terus Maju," IDI sedang meneguhkan peran strategisnya dalam mewujudkan masyarakat yang sehat, terbebas dari berbagai penyakit dan kematian yang sesungguhnya bisa dicegah dengan pelayanan yang tepat, cepat dan standar.
Semangat yang menunjukkan bagaimana nafas populis begitu terasa dalam organisasi para dokter, yang hari pengesahan legalitasnya menjadi dasar penentuan Hari Dokter Nasional ini.
Namun begitu, tak gampang bagi para dokter menuntaskan semangat mengabdi kepada rakyat itu. Banyak hal yang harus dilakukan bersama dengan elemen pemerintahan dan perguruan tinggi.
Setidaknya, bisa ditilik dari tiga sudut pandang mengenai sulitnya pencapaian cita-cita membebaskan rakyat dari persoalan kesehatan.
Pertama, rasio dokter di Indonesia masih belum sesuai dengan ketentuan yang ideal menurut WHO, yaitu 1:1000. Artinya, 1 dokter melayani 1000 penduduk. Sedangkan sumber dari KataData menunjukkan di Indonesia rasio dokter pada angka 0,4:1.000 penduduk atau 4 dokter melayani 10.000 penduduk.
Jika IDI akan mengabdikan diri kepada rakyat, soal rasio dokter ini harus menjadi prioritas dalam pengembangan berbagai program IDI. Dengan begitu, problem-problem kesehatan masyarakat akan bisa segera tertangani.
Kedua, biaya pendidikan dokter yang dirumorkan cukup tinggi. Akibatnya, hanya sedikit orang saja yang bisa mendaftarkan diri memasuki Fakultas Kedokteran. Sebab, mereka yang orangtuanya memiliki tingkat ekonomi bagus yang bisa memasuki Fakultas Kedokteran, dan sebagiannya adalah anak-anak dokter.
Belum lagi, soal banyaknya Fakultas Kedokteran yang tutup operasionalnya karena berbagai alasan administratif dan syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam penyelenggaraan program studi kedokteran.
Ini belum lagi soal dokter spesialis yang jumlah dan persebarannya tidak merata. Sehingga penanganan pada keluhan-keluhan khusus tidak bisa segera ditangani para dokter spesialis.
Ketiga, sebagai turunan dari dua persoalan di atas, mengenai akses kesehatan yang masih belum merata di berbagai wilayah Indonesia.
Akses ini tidak saja mengenai jarak dan alat transportasi yang masih susah untuk menuju fasilitas kesehatan, melainkan juga ketiadaan dokter, dan tenaga kesehatan yang lain.
Belum lagi aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, yang membutuhkan desain fasilitas kesehatan secara khusus. Misalnya, perlu tersedianya juru bahasa isyarat untuk layanan kepada disabilitas tuli, pendamping bagi disabilitas netra, intelektual dan mental, dan bidang miring, sarana toilet yang luas bagi pengguna kursi roda dan kruk.
Dalam mewujudkan semangatnya itu, IDI setidaknya harus menyelesaikan tiga isu strategis dalam mencapai Indonesia sehat, membersamai rakyat dalam menghadapi Covid-19, menghindarkan anak-anak dari berbagai banyak sebagai dampak dari konsumsi obat kimia, menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).Â
Dan lebih penting dari itu semua, bagaimana para dokter memgubah mind set saat memberikan layanan kepada warga masyarakat, mereka tidak sedang menolong, melainkan mewakili negara memenuhi hak kesehatan yang menjadi bagian utama dalam hak-hak asasi manusia
IDI tentu tak bisa menyelesaikan tiga persoalan prioritas ini dalam mewujudkan semangatnya mengabdi untuk rakyat. Ini membutuhkan good will dari pemerintah, dan upaya-upaya perguruan tinggi, termasuk menurunkan biaya yang dirumorkan mahal untuk mengikuti pendidikan kedokteran.
Dirgahayu IDI .....Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H