Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Kontrak Sosial Pernikahan, Dobrakan Ketidakadilan Gender

15 Agustus 2022   00:04 Diperbarui: 15 Agustus 2022   00:30 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Foto:  Ulrike Mai dari Pixabay 

Kesepakatan soal kapan hamil ini tidak berdampak kepada saya dan keluarga besar saya. Tetapi berdampak pada kegelisahan ibu mertua saja. Seperti sudah dipahami dalam kehidupan budaya patriarkhi, setiap istri yang tidak bisa memberikan anak dalam perkawaninannya maka ia akan terancam dengan dua hal: dicerai atau dipoligami. Celakanya, negara membenarkan tindakan tidak adil bagi perempuan ini. Sementara, ketika laki-laki yang terbukti tidak bisa menghamili istrinya, maka si istri diharapkan untuk tetap bisa menerima situasinya. Inilah standar ganda bagaimana masyarakat memandang perempuan dan laki-laki.

Kita juga bersepakat mengenai pembelian berbagai barang yang membutuhkan surat-surat kepemilikan, misalnya, pembelian tanah, kendaraan, dan lainnya, semua diatasnamakan istri. Bagi saya sama sekali tidak merasa khawatir dan rasa takut dengan kesepakatan ini. Namun, yang mengajukan protes bapak mertua saya. 

Mewakili budaya patriarkhi, ia menyatakan seluruh pembelian seharusnyua atas nama suami sebagai kepala rumah tangga. Padahal, semestinya bapak mertua bangga, sebab manakala terjadi persoalan dalam ramah tangga, seluruh kepemilikan barang sudah atas nama anak perempuannya. Kenyataannya tidak: sebab ia membela martabat patriarkhi, merasa terhina kelanangannya.

Kesepakatan lainnya, mengenai kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga termasuk tindakan perkosaan dalam perkawinan. Ketika terjadi tindak kekerasan ini, fisik, psikis, dan seksual, maka saya bersedia untuk terusir dari rumah tangga, termasuk dalam soal pengasuhan anak. Ini sungguh yang saya rasakan luar biasa dan saya benar-benar bangga berani melakukan kesepakatan ini dengan calon istrinya.

Love. Foto:  Ulrike Mai dari Pixabay 
Love. Foto:  Ulrike Mai dari Pixabay 

Pada akhirnya saya menyadari, perjanjian praikah ini, kontrak sosial ini, bukan semata-mata untuk kami berdual, melainkan sebuah dekonstruksi budaya patriarkhi, menjadi kritik mendasar terhadap praktik-praktik ketidakadilan yang sebagian besarnya sungguh merugikan perempuan.

Sunggu, saya bangga menjadi suami seorang aktivis perempuan.***        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun