Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Anak Nasional, dan Paradoks Tasikmalaya

22 Juli 2022   14:25 Diperbarui: 22 Juli 2022   14:32 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari Anak Nasional, dan Paradoks Tasikmalaya

Besok, tanggal 23 Juli 2022 Indonesia akan memperingati Hari Anak Nasional 2022. Peringatan yang akan mengingatkan elemen masyarakat mengenai pentingnya perlindungan anak dari berbagai macam tindak kekerasan: dari beragam perundungan dan pelecehan kemanusiaan.

Di sisi lain, kita sungguh terkejut dengan berita tragedi perundungan anak yang berujung dengan kematian. Tindakan kekerasan dengan pelaku di usia anak-anak pula.

Perilaku anak-anak yang melakukan perundungan dengan memaksa temannya melakukan hubungan seks dengan kucing, dan sebelumnya sering melakukan pemukulan tentu saja menjadi kritik tajam kita semua: pemerintah, lembaga pendidikan, dan keluarga.

Ini bukan soal anak-anak yang langsung dihakimi nakal. Namun penting meninjau ulang sistem pendidikan, sistem pengasuhan, sistem sosial, dan sistem budaya. Sebuah tatanan yang justru membawa anak-anak menjadi pelaku kekerasan.

Dalam sistem pendidikan, misalnya, penting menimbang ulang pendekatan pembelajaran yang secara efektif mampu membentuk karakter anak. Sebuah sikap individu yang secara dasariah memiliki watak saling menghormati dan menghargai sesamanya.

Dalam sistem budaya, bagaimana nilai-nilai sosial dan moral bisa terinternalisasi dengan berbagai keteladan orang dewasa dan bersikap dan berperilaku sehari-hari.

Artinya, menghadapi paradoks Tasikmalaya semua elemen masyarakat (pejabat, guru, tokoh masyarakat, tokoh politik, untuk menyebut sebagiannya), penting belajar dan memahami  Konvensi Hak Anak (KHA) yang tertuang dalam Keppesres Nomor 36 Tahun 1990, dan memahami Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

Dengan memahami kebijakan tentang anak ini, kita menjadi tahu apa dan bagaimana semua masyarakat turut mendukung implementasinya dalam kehidupan keseharian. Misalnya, mereka memahami 5 pilar pemenuhan hak anak, hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya, dan perlindungan khusus.

Momentum
Hari Anak Nasional tahun ini sudah seharusnya menjadi momentum bersama melakukan perubahan sesuai dengan bidang dan kapasitasnya masing-masing. Semua melakukan apa yang menjadi tanggung jawabnya dengan sungguh-sungguh dengan memfokuskan pada kepentingan anak.

Hanya dengan cara begini, apa yang hendak dicapai Indonesia dengan mewujudkan generasi Emas 2045 yang Berkarakter.

Sebagainana disebutkan dalam Buku Panduan HAN 2022 yang dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Peremouan dan Perlindungan Anak RI, qnak-anak saat ini akan memiliki peranan strategis pada tahun 2045, bertepatan dengan peringatan 100 tahun Indonesia merdeka.

Sebagai sebuah momentum, HAN 2022 yang bertemakan 'Anak Terlindungi, Indonesia Maju', akan menjadi upaya dan bentuk penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak anak Indonesia. .

Lebh jauh lagi, peringatan HAN bisa menjadi bagian dari proses pendidikan publik mengenai hak-hak anak yang harus dipenuhi sehingga mereka akan menjadi mamusia Indonesia yang berkualitas, memiliki dimensi spritualitas yang bagus, berkepribadian, cerdas, memili jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi.

Tak hanya pemerintah dan keluarga, kalangan pengusaha, lembaga sosial keagamaan, dan media massa bisa berkooabarasi secara aktif. Dengan demikian upaya pemenuhan hak, dan perlindungan anak bisa maksimal pencapaiannya.

Dengan begini Indonesia akan bensr-benar menjadi negara yang ramah anak, dan paradoks Tasikmalaya tak pernah terjadi lagi.***

Sumber gambar: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun